Mohon tunggu...
Morning Cloud
Morning Cloud Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hanya berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sokola Rimba: Di Sisi Lain Pendidikan

28 Mei 2015   22:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hmm... mulai darimana ya? Saya juga bingung harus mulai darimana karena terlalu banyak yang bisa diceritain. Tapi mungkin kalau diceritain semua akan nyampur sama sisi emosional saya ketika baca buku ini, hehe... maklum deh, suka kelewat melankolis. Oke... [caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Buku "][/caption] Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1997 oleh Insistpress, Yogyakarta. Kemudian kembali dicetak oleh Penerbit Buku Kompas pada Mei 2013. Buku ini juga udah ada versi Inggrisnya, dengan judul Jungle School. Hmm... sebenarnya saya sudah lama tau mengenai Sokola Rimba ini semenjak kuliah. Yah, berhubung jurusan kuliah saya sama dengan tema kegiatan ini. Memang kegiatan. Sokola Rimba ini bisa dibilang merupakan upaya pendidikan untuk Masyarakat Rimba di Bukit Dua Belas, Jambi. Saya juga awalnya tau cuma sekelebat doang, dan enggak tertarik. Sampai suatu ketika ada seminar yang diselenggarakan Palawa Unpad, temanya Perempuan dan Petualangan. Salah satu pembicara nya, ya, Butet Manurung ini. Entahlah, di seminar kali ini Butet bercerita lebih gamblang, ketimbang waktu saya ketemu beliau di Pembukaan Inisiasi (semacam ospek jurusan gitu) beberapa tahun yang lalu. Lalu saya memutuskan untuk beli bukunya di seminar kali itu. Hehe... Ke makan omongan yak gue :p. Buku ini bercerita tentang perjalanan Butet Manurung di komunitas Orang Rimba. Kala itu beliau merupakan staf pengajar dari sebuah LSM konservasi di daerah Jambi. Butet menjelaskan awalnya fokus utama upaya literasi (baca-tulis-hitung) kepada Orang Rimba adalah bagian dari upaya konservasi hutan Bukit Dua Belas. Saya suka cara ceritanya, tidak berusaha untuk terlihat intelek, dan itu segar sekali. Diceritakan awalnya beliau sampai di hutan, kehidupan dihutan, sampai pada pemikiran-pemikirannya tentang hakikat pendidikan untuk Orang Rimba yang sebenarnya. Butet Manurung mengutip kata-kata Parsudi Suparlan tentang pendidikan untuk masyarakat adat,

"Mengubah dan mengarahkan kehidupan suatu masyarakat tidak mungkin berhasil jika mereka tidak mersakan keuntungan dari perubahan tersebut" -- Parsudi Suparlan

Jadi, bagi Butet cara-cara belajar yang sesuai untuk anak-anak Rimba adalah yang dapat berefek langsung pada kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, awal nya anak-anak itu diajar cara baca-tulis-hitung. Namun kemudian ketika dirasa perlu mereka mengetahui tentang geografi, seperti untuk mengetahui luas tanah mereka, maka diajarkanlah itu. Dan kebutuhan pelajaran di tiap rombong (kelompok Orang Rimba) itu berbeda-beda, ada yang lebih intens cara menghitung, baca, dan sebagainya. Tergantung kebutuhan tiap rombong tersebut. Ini menarik, ketika belajar bukanlah mejadi suatu keharusan melainkan menjadi suatu kebutuhan hihi... Ya kita mungkin terbiasa dengan konsep harus belajar bukan butuh belajar. Dari SD sampai tua begini saya juga familiar dengan konsep pendidikan yang legek begitu. Selain cerita tentang urusan belajar, di buku ini juga menceritakan tentang kehidupan Orang Rimba. Bagaimana pola hidup mereka, adaptasi mereka dengan orang terang (sebutan Orang Rimba untuk orang kota), interaksi mereka dengan para transmigran, dan situasi disekitar Bukit Dua Belas yang bisa dibilang cukup politis ya. Jadi, di sekitar Bukit Dua Belas ini banyak terjadi illegal loging yang gerakannya halus sekali. Juga tentang status Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfer dan tetek bengeknya. Biasa deh, urusan kebimbangan pemerintah. Ada yang menarik tentang pernyataan Butet mengenai posisi perempuan pada Orang Rimba. Penuh aturan dan pamali, namun alih-alih protes atau respon kebanyakan perempuan kini tentang aturan adat, Butet melihat hal ini jauh lebih dari sekedar aturan dan pamali. Baginya, hal semacam ini adalah upaya Orang Rimba untuk menjaga perempuannya. Ya, di salah satu bagian dari buku ini menceritakan tentang tabu untuk menyebutkan nama anak gadis mereka kepada orang asing. Butet juga mengenalkan murid-muridnya di buku ini. Lucu-lucu deh hehe... Diperkenalkan secara jenaka, lucu, dan hangat tentang karakter masing-masing "aktor" ini. Nah, ternyata belajar baca-tulis-hitung tidak bisa dibatasi sampai situ saja. Dalam buku ini diceritakan tentang kemajuan anak-anak Rimba setelah mengenal huruf dan angka, mereka kemudian mulai bertanya tentang hal-hal yang mungkin saja bisa menohok kita. Misalnya pertanyaan mereka tentang para penebang kayu yang menjadi pemandangan sehari-hari mereka.

"Menjaga hutan memang sulit sekali, orang pemerintah saja tak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca, tulis, hitung..." -- Peniti Benang

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="(dokumen pribadi)"]

[/caption] Buku ini juga penuh pandangan-pandangan Butet tentang "tesis-antitesis" posisi Orang Rimba kini. Mereka seperti dikelilingi perubahan yang sering dibilang modern. Diantara berubahnya kondisi sosial, bahkan ekologis, mereka sudah pasti beradaptasi. Misalnya dengan sudah memakai baju atau mempunyai motor (begitu Butet menggambarkannya di buku ini). Namun, apakah salah jika Orang Rimba memiliki motor atau memakai baju? mereka juga bukan "orang susah" seperti yang banyak digambarkan media-media kini. Mereka memang hidup dengan caranya sendiri. Akhirnya, saripati dari buku ini yang saya terima adalah tentang bagaimana pendidikan bukan saja untuk menjadi pintar tapi untuk berdaya. Pendidikan menjadi alat bagi Orang Rimba yang terperangkap perubahan modern untuk tetap bisa eksis sebagai dirinya sendiri. Selain itu, bagian lain yang lebih menginspirasi saya adalah tentang seorang guru. Sederhana ya... Disini, di buku ini, jelas, murid-murid yang menjadi hebat ini lahir dari guru yang tangguh. Guru yang tidak memaksa anak-anaknya untuk menjadi apa, tapi ia membuka jalan untuk anak-anaknya. Maka dengan begitu, guru sebenarnya bukan hanya menjadi pengajar atau pendidik, bahkan mereka lebih mulia dari itu. Udah, hal itu yang bikin saya berkata, WOOOW....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun