Mereka sering berbagi rutinitas makan, tips diet, hingga pola olahraga yang terkadang terlihat ekstrem.Â
Bagi sebagian orang, konten ini memberikan dorongan untuk memulai hidup sehat. Namun, bagi yang lain, ini bisa menjadi pintu menuju pola makan tidak sehat atau bahkan gangguan makan. Â
Contoh terbaru datang dari Liv Schmidt, seorang kreator TikTok yang menjadi sorotan setelah akun utamanya dengan 670.000 pengikut dinonaktifkan karena dianggap melanggar pedoman komunitas.Â
Liv dikenal dengan bio kontroversialnya, "Bukan dosa jika ingin kurus," Â yang langsung memicu perdebatan daring.Â
Meskipun demikian, ia terus aktif di platform lain dan berkali-kali membuat akun barunya. Bahkan, ia tetap memiliki penggemar setia yang mendukung pesan-pesannya. Â
Medsos Sebagai Wadah Aspirasi dan Tekanan
Dalam hal ini, media sosial memungkinkan skinny influencer menjangkau audiens yang sangat luas, terutama anak muda yang sedang mencari jati diri.Â
Algoritma platform seperti TikTok atau Instagram cenderung memperkuat tren ini, mengarahkan pengguna ke konten serupa yang akhirnya menciptakan echo chamber budaya tubuh langsing. Â
Namun, apa yang terlihat seperti inspirasi bagi sebagian orang bisa menjadi tekanan besar bagi yang lain. Generasi muda, khususnya remaja perempuan, sering kali merasa terjebak dalam standar yang tidak realistis ini.Â
Dengan melihat tubuh sempurna setiap hari di layar ponsel mereka, muncul pertanyaan besar. Apakah kecantikan kini harus selalu diiringi pengorbanan fisik dan mental? Sehingga mereka mati-matian ingin menjadi langsing.Â
Bahaya Fenomena Skinny Influencer