Hasil penekanan paksa sebuah ego ke dalam pemikiran seseorang hanya akan menghasilkan dua kemungkinan: menambah beban dan menjadikannya ganjalan dalam pikiran dan perilakunya, atau bisa juga mengakibatkan munculnya bibit-bibit pemberontakan dalam hatinya.
Bagi mayoritas kalangan "orang-orang lama", gambaran kesuksesan seseorang di dalam kepala mereka adalah memiliki rumah yang mewah, memiliki jabatan yang strategis dan settle, gaji fantastis, liburan setiap bulan, memiliki nominal fantastis di tabungannya dan atau terjaminnya dana pensiun mereka kelak. Yang mereka tak pernah tahu adalah dunia sekarang sudah dan akan terus semakin maju. Konsep bekerja dan cara pandang anak masa kini soal uang dan waktu juga telah jauh berubah.Â
Orangtua saya mendorong saya untuk memiliki pekerjaan yang stable dan digaji tinggi, tetapi mereka seringkali terkejut ketika tahu anaknya bisa bekerja sampai 12 jam lamanya di kantor, tak jarang malah ada beberapa teman saya yang menginap di kantor. Padahal mereka bukan security, hanya pekerja kantoran biasa seperti saya.Â
Setelah beberapa lama saya bekerja dengan pola kerja yang seperti itu, lantas mereka kemudian mempertanyakan waktu saya untuk keluarga, karena bahkan hari minggu dan hari libur pun saya tetap diminta untuk bekerja. Padahal itu semua memang adalah cost yang harus saya tukarkan demi bisa mengejar gaji yang fantastis dan memenuhi ekspektasi mereka akan pekerjaan saya sebagai anaknya.
Bagi saya pribadi, ukuran kesuksesan dalam hidup adalah dengan mengerjakan apapun yang saya sukai dan benar-benar kuasai, saya bahagia mengerjakannya, dan tidur dengan nyenyak kemudian bangun dengan perasaan tenang walaupun satu jam kemudian saya harus berhadapan kembali dengan pekerjaan-pekerjaan saya yang kemarin belum saya selesaikan. Itulah yang saya sebut kesuksesan.Â
Objektivitas memang sangat berperan besar dalam pemikiran saya ini, tetapi dalam hemat saya, untuk apa menjadi seorang karyawan dengan pakaian rapi, disanjung-sanjung oleh tetangga di lingkungan perumahannya, dielu-elukan oleh orangtua dan keluarganya, tetapi setiap pagi bangun dengan pundak dan bahu yang masih pegal.Â
Sarapan di satu meja makan tetapi tak pernah fokus mendengarkan anak dan istrinya bercerita karena pikirannya tersita kepada pekerjaan dan jabatannya.Â
Pergi pagi dan pulang tengah malam, sesampai di rumah anak istri sudah terlelap. Kalaupun mereka masih terjaga, Anda hanya pulang untuk mencium kening mereka dan mengantarkannya tidur.Â
Anda pulang ke rumah hanya untuk tidur beberapa jam dan kemudian bangun di pagi buta, memasak sarapan sendiri untuk dimakan sendiri dan mengulang kembali siklus yang sama setiap hari, Anda hanya sempat melihat istri Anda saat sudah tertidur dan bahkan saat Anda bangun, ia masih tidur dengan posisi yang sama saat Anda masuk ke kamar semalam. Bagi saya itu bukan hidup, setidaknya bukan hidup seperti itu yang saya inginkan.
KELUARGA DIBANGUN DI ATAS KOMUNIKASI YANG KUAT, BAGAIMANA BISA ANDA SEBUT MEREKA KELUARGA JIKA TAK PERNAH PUNYA WAKTU UNTUK SEKEDAR BERTEGUR SAPA?
Pada akhirnya, saya mengerti jika ada beberapa orang yang akan kontra dengan opini saya yang seolah-olah mengajak Anda untuk memberontak dengan arahan yang diberikan orangtua dan atau keluarga Anda. Tetapi jika Anda bisa menangkap gambaran besarnya, maka Anda pasti akan menemukan dan merenungkan satu pertanyaan yang dulu juga sempat saya renungkan sebelum semua keputusan-keputusan besar saya ambil; seberapa bahagia Anda dan keluarga melihat pekerjaan Anda saat ini?Â
Jika Anda dan keluarga masih merasa bahagia dengan pekerjaan Anda sekarang, jika ekspektasi orangtua yang sudah susah payah membesarkan Anda telah terpenuhi dan mereka bahagia melihat pencapaian-pencapaian Anda, maka berbahagialah. Selamat bekerja. Lanjutkan apa yang menurut Anda pantas untuk dilakukan. Bekerja tak ubahnya seperti sebuah hubungan, jika tidak bahagia, mengapa masih bertahan? Jika memang masih nyaman, maka lanjutkan. Ini hanya masalah persepsi dan perspektif, tak ada benar dan salah. Hidup Anda, adalah hak Anda untuk menentukannya.