Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sedikit bicara, banyak menulis.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menurut Sains, Kiamat Sudah Dekat

20 Oktober 2023   09:53 Diperbarui: 22 Oktober 2023   03:32 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Foto oleh Markus Spiske: https://www.pexels.com/id-id/foto/jalan-pemandangan-orang-orang-biru-2559749/ 

Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke sebuah kota yang katanya termasuk lima besar kota paling panas di Indonesia. Kota pahlawan, Surabaya. Di sana saya rasakan mataharinya amat sangat menyengat, rasanya seperti menusuk-nusuk kulit saya. Saya coba iseng mencari tahu berapa sebenarnya cuaca Surabaya kala itu, saya ambil smartphone dan ketikkan di Google, temperatur kota surabaya hari ini. Saya sudah menduga, bahkan sebelum sejak saya pergi, cuaca di Surabaya akan terasa panas bagi saya yang terbiasa tinggal di desa yang dulunya sejuk. Tetapi yang tidak saya duga adalah peringatan Excessive Heat yang muncul di smarphone saya. Excessive Heat adalah peringatan panas berlebih yang muncul akibat tingginya suhu udara di sekitaran tempat saya sedang berada saat itu, yang dimungkinkan menimbulkan dampak yang cukup berbahaya jika terpapar terlalu lama.

Nyatanya, tidak hanya di Surabaya. di banyak daerah di Indonesia saat ini juga mengalami keadaan yang serupa. Musim panas berkepanjangan dirasakan hampir di seluruh bagian dunia saat ini. Tahun 2023 sudah sejak jauh hari diprediksi sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat selama manusia melakukan pengamatan terhadap perubahan iklim. Laporan Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa mengungkapkan bahwa rata-rata suhu global pada bulan Januari sampai dengan September 2023 lebih tinggi 0,52 derajat Celcius (atau 0,9 derajat dalam Fahrenheit) daripada rata-rata suhu tahun-tahun sebelumnya Suhu pada periode ini juga lebih tinggi sebesar 0,05 derajat Celcius jika dibandingkan sembilan bulan pertama di tahun 2016, yang mana pada durasi waktu tersebut sempat dinobatkan sebagai 'tahun terpanas di kalender' pada saat itu. Sialnya, fakta bahwa dunia akan semakin panas dan panas lagi di masa depan adalah sebuah 'hantu' yang ternyata sangat amat mungkin menjadi nyata di masa yang akan datang.

Para peneliti dan pemerhati lingkungan mengategorikan tahun 2023 sebagai zaman anthropocene (baca: antroposen). Apa itu anthropocene? Singkatnya anthropocene adalah istilah yang digunakan oleh para ahli untuk merujuk pada perubahan drastis iklim dunia akibat dari kegiatan-kegiatan manusia. Dalam sejarah perjalanan bumi ini, ahli-ahli sains dan sejarah telah mencatat setidaknya telah terjadi 5 kali kepunahan massal di bumi. Sejak 445 juta tahun yang lalu, sampai dengan yang paling terkenal dan memusnahkan sebagian besar spesies dinosaurus dan mahkluk hidup di dunia ini akibat hantaman asteroid Chicxulub pada 66 juta tahun yang lalu. Celakanya, fenomena memanasnya suhu bumi saat ini disebut-sebut juga adalah awal kepunahan massal yang keenam bagi kehidupan yang ada di atas bumi saat ini. Manusia diprediksi tidak akan bisa bertahan sampai dengan tahun 2.100 jika suhu bumi terus meningkat secara eksponensial setiap tahunnya. Bahkan perjalanan menuju kepunahan massal keenam ini, sudah terjadi sejak zaman neolitikum, atau sejak masifnya manusia berkembang biak dan menyebar ke berbagai wilayah di dunia.

Lalu, mengapa manusia dianggap sebagai pemicu percepatan kepunahan massal menurut sains?

1. Manusia Berevolusi Terlalu Radikal.

Kepunahan massal terakhir, sekaligus kepunahan massal yang paling terkenal, hingga dibuatkan filmnya, adalah kepunahan kelima di bumi. Kepunahan itu disebabkan oleh hantaman Asteroid Chicxulub yang jatuh di Meksiko 66 juta tahun yang lalu. Dampak tabrakan asteroid ini memusnahkan 75% mahkluk hidup di bumi saat itu, dan menyisakan kawah besar yang sekarang disebut sebagai kawah Yucatan. Nah, manusia (atau bakal manusia) adalah termasuk dalam 25% spesies makhluk hidup yang selamat dari kepunahan massal ini. Karena evolusi dan kemampuan otaknya, manusia menjadi satu-satunya makhluk paling sukses dalam hal adaptasi selama masa krisis sejak saat itu. Sayangnya, pada hasil penelitian tahun 1998 menunjukkan bahwa sejak zaman neolitikum, sejak manusia mengenal teknik berburu dan meramu, sejak manusia mulai mengenal migrasi dan menjelajah alam, terjadi penyusutan jumlah megafauna (hewan berukuran raksasa) yang berkorelasi positif dengan perpindahan manusia pada saat itu. Manusia berevolusi dan berkembang biak terlalu cepat, mereka menjadi makhluk invasif yang dengan semena-mena menduduki sebuah wilayah tanpa mempedulikan makhluk hidup lain yang sudah lebih dulu ada di sana. Manusia menganggap makhluk hidup lain di area mereka tinggal adalah 'alien' yang harus dimusnahkan, karena dianggap mengganggu kelangsungan hidup menusia saat itu. Terdengar seperti mempertahankaan diri, padahal lebih kepada pembantaian, bukan?

2. Manusia Merubah Fungsi Lahan Secara Serampangan.

Jumlah populasi manusia di dunia bertambah semakin cepat. Diperkirakan manusia modern saat ini bahkan meningkat jumlahnya sampai dengan 8 kali lipat dibanding 200 tahun yang lalu. Kenaikan jumlah populasi ini mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kepentingan manusia semakin meningkat. Saat ini diperkirakan sekitar 40% lahan di dunia ini digunakan untuk pertanian dan peternakan, dan 36% lahan di dunia dirubah menjadi pemukiman, pariwisata dan pabrik-pabrik industri. Akibatnya, kini 95% tutupan hutan di seluruh dunia telah hilang karena aktivitas manusia, dan alam liar (yang benar-benar belum dijelajahi dan dirusak oleh manusia) hanya tinggal 4% jumlahnya di muka bumi ini. Selain itu ada fakta yang menunjukkan bahwa 70% air tawar di dunia ini telah digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kenyataan itu diperparah dengan teknik-teknik merusak yang dilakukan oleh sebagian orang untuk membuka lahan hutan hijau menjadi lahan yang siap digunakan dengan cara membakar. Sebelum digunakan sebagai lahan ternak atau pertanian, sebuah lahan hutan tentu harus dibersihkan dari tanaman-tanaman dan hewan-hewan yang tidak kita inginkan ada di lahan milik kita. Kita menganggap ular-ular dan tikus-tikus yang sudah lama tinggal di hutan itu adalah hama bagi sawah kita, padahal jika ditarik sejarahnya, kitalah yang bisa disebut hama, karena mereka sudah tinggal di sana lebih dahulu dan kita datang lalu mengusir mereka, mengusir keanekaragaman hayati di sana.

 

3. Penggunaan Pestisida yang Berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun