World Youth Day (WYD) 2011 di Madrid telah usai lebih dari 2 minggu yang lalu, namun acara itu masih saja menjadi perbincangan yang hangat, setidaknya di antara kami. Banyak pengalaman spiritual yang masing-masing kami alami, namun tak kalah banyaknya pengalaman yang kami rasakan bersama-sama. Oh iya, sebelum cerita lebih lanjut, saya mau jelaskan secara singkat dulu apa itu WYD atau dalam bahasa Spanyolnya Jornada Mundial de la Juventud (JMJ). JMJ adalah berkumpulnya (saya terjemahkan dari kata gathering) orang muda dari seluruh dunia, yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik, dan merupakan sebuah festival keimanan besar (a grand festivity of faith). JMJ dimulai tahun 1985 dan diprakarsai oleh Paus Johannes Paulus II, diselenggarakan setiap 3 tahun sekali bergantian di berbagai negara di seluruh belahan dunia, biasanya dari JMJ yang satu ke JMJ yang lain berganti benua. Setelah di Sydney 2008, kini giliran Madrid 2011. Okay, kembali ke cerita awal. Saya ingin bercerita ttg bendera di WYD, terutama tentang merah putih. Setiap kelompok, kecil atau besar, selalu membawa bendera. Kami pun membawa sebuah bendera, yang menurut kami sudah cukup besar, namun ternyataa 'kecil'. Bendera menjadi identitas group. Hari pertama WYD kami lupa membawa bendera, sehingga setiap kali bertemu kelompok lain mereka sering bertanya 'where are you from?' Alangkah lebih mudah jika mereka melihat bendera kami dan mengetes pengetahuan mereka ttg bendera-bendera di dunia. Bukankah merah putih bukan hanya punya Indonesia, tapi juga Monaco? Hari kedua kami membawa bendera merah putih saat katekism di Atocha. Di sini lah cerita mulai bergulir. Karena ngga punya tiang bendera, bendera itu kami taruh di punggung, untuk menutupi tas punggung. Selesai katekism, kami bertemu sepasang suami-istri dari Indonesia, yang mengenali kami dari 'si bendera'. Saat menunggu teman-teman yang lain di halaman Basilika Atocha, kami disapa ramah oleh 4 orang pastor & bruder Passionist dari Kalimantan. Pertemuan ini membawa berkah, bukan karena saya diberi satu lagi bendera kecil untuk dipasang di tas punggung dan juga bertemu sahabat-sahabat baru, tetapi juga karena siang itu kami makan siang lumayan ok setelah hari sebelumnya cuman bertemu dengan fast food. Para biarawan itu ditemani 2 orang volunter yang asli spanyol, yang lebih tahu jalan dan lokasi daripada kami (sekalipun berbekal GPS). Mereka menawari kami mau makan apa, kemudian mereka mencarikan restoran yang agak jauh dari keramaian (oh ya, mencari makan merupakan suatu 'seni' tersendiri saat WYD).  Oh ya, hari kedua JMJ itu hari rabu, tepat tanggal 17 Agustus. Entah kebetulan atau direncanakan sebelumnya, ada pentas seni Imago Dei di gereja santa barbara. Lagi-lagi merah putih berkibar di sana :) [caption id="attachment_133066" align="alignleft" width="400" caption="Merah putih di langit senja Madrid"][/caption] Malam harinya, setelah menonton pentas seni, kami berjalan lagi. Saya sudah lupa di daerah mana, tiba-tiba ada suara berseru "dari Indonesia ya?" Ups, kami dikenali lagi. Rupanya suara tadi berasal dari Suster Marcella, yang berangkat bersama rombongan dari Rusia karena beliau berkarya di sana. Suster tadi bertanya kepada kami apakah kami bertemu rombongan dari Indonesia. Beliau ingin sekali bertemu dengan kemenakannya (seorang pastor yg berkarya di Kalimantan) yang menurutnya ikut salah satu rombongan dari Indonesia.  Sayangnya kami ngga bisa membantu karena kami tinggal di sebelah timur Madrid, sementara mereka tinggal di Al Corcon & Leganes yang berada di luar Madrid. Tambahan lagi, mengingat banyaknya orang, kemungkinan bertemu mereka cukup kecil. Hari ketiga, kamis, Papa (Paus Benediktus XVI) akan datang. Kami memutuskan untuk membeli 'tiang' bendera sehingga bendera bisa melambai-lambai (siapa tau tertangkap kamera tivi, hehehe). Karena di Madrid ngga ada yang jual bambu, kami beli tangkai pel di supermarket), cukup untuk mengikatkan bendera, tapi tak cukup panjang untuk membuatnya berkibar di udara di antara bendera-bendera lain. Jadilah, yang tertinggi di antara kami bertugas mengayunkan si tiang. Perjalanan pulang setelah setiap acara besar JMJ, entah itu misa atau jalan salib, adalah perjuangan tersendiri, terutama untuk tidak terpisah dari kelompok. Meskipun kami cuma ber-9, perpisahan itu kadang tak bisa dihindarkan mengingat banyaknya orang. Jadi, benderalah yang menjadi petunjuk saat kami terpisah, untuk mengetahui keberadaan yang lainnya. Acara puncak JMJ adalah vigil & misa penutup di lapangan udara militer Cuatro Vientos. Meskipun kami mencoba untuk datang lebih awal, block D3 tempat kami akan bermalam sudah penuh. sulit menemukan tempat untuk kami semua (10 orang saat itu). Akhirnya kami berpisah  menjadi 2 kelompok. Di sini lah bendera berperan lagi sebagai petunjuk posisi. Sabtu malam itu Cuatro Vientos diterpa badai, angin kencang disertai ujan. Bendera pun beralih fungsi sementara untuk berlindung, meskipun akhirnya tetap basah kuyup. Beruntung Madrid berudara kering, sehingga setelah berkibar beberapa saat, sang bendera kering kembali. [caption id="attachment_133065" align="alignleft" width="720" caption="merah putih diantara putih merah"][/caption] Ada cerita  saat di Cuatro Vientos. Kami berempat dikelilingi sekelompok pilgrim dari Polandia. Kami jadi berteman dengan salah seorang di antara mereka. Namanya Karol dan serempak kami berkomentar "Karol, like the Pope." Katanya 'Loh, kok  benderanya terbalik?' Bendera polandia kan putih-merah, hehehe. Dalam perjalanan keluar dari Cuatro Vientos minggu pagi itu, aku juga sempet ngobrol dengan seorang gadis Polandia, yang diawali dng topik bendera. Banyak kisah bersama bendera. Dia adalah identitas yang melekat,yang membuat kami dikenali, bahkan oleh orang-orang Timor Leste yang menyapa kami di pintu keluar Cuatro Vientos dan menyanyikan lagu Garuda Pancasila saat kami melintas di dekat metro Aluche.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H