Mohon tunggu...
Caecilia Vitasari
Caecilia Vitasari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

An ordinary woman who follows her dreams

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menulis di Journal Internasional: Siapa Takut?

24 November 2012   23:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kira-kira tiga minggu lalu, saya menerima e-mail dari seorang editor dari sebuah jurnal di bawah naungan Elsevier. Elsevier merupakan penerbit jurnal ilmiah terkemuka, setidaknya di bidang yang saya tekuni. Saya tidak punya ide mengapa sang editor meminta kesediaan saya untuk menjadi reviewer sebuah manuskrip. Apakah sang editor berpikir bahwa saya seorang profesor atau ahli di bidang tertentu karena di beberapa artikel saya menjadi penulis pertama, sementara di tempat saya menuntut ilmu, penulis pertama adalah PhD student, sementara sang profesor biasanya ada di posisi terakhir. Anyway, sang editor telah meminta kesediaan saya apapun alasan di balik penunjukan itu. Di e-mail juga disebutkan bahwa jika saya menolak, saya diminta untuk merekomendasikan nama orang lain sebagai reviewer. Setelah mempertimbangkan ini dan itu, akhirnya saya terima tawaran itu. fyi, menjadi reviewer itu kerja sosial :).

Nah, setelah saya ok, si editor mengirimkan link ke journal yg bersangkutan, beserta hak istimewa berupa full access Scopus. Keren juga, pikir saya. Sesudah saya download manuscript itu, saya lumayan terkejut karena judul dan afiliasi para penulis agak jauh dari bidang keahlian saya. Karena penasaran, saya scanning manuscript yang untungnya tidak terlalu tebal itu dan menemukan bahwa mereka merujuk salah satu paper saya. Oh, mungkin ini penjelasannya :)

Sepintas manuscript itu kelihatan sederhana, makanya saya 'menyimpannya' untuk kesibukan di dalam perjalanan kereta. Ternyata saya salah. Manuscript yang saya kira bisa direview dalam beberapa jam, butuh waktu sehari untuk mengerjakannya. Singkat cerita, penulis manuscript itu masih harus banyak belajar menulis dalam bahasa inggris, termasuk menjelaskan hasil risetnya secara sistematis.  Di antara sekian banyak referensi yang digunakan, saya menemukan jurnal-jurnal lokal yang ngga bisa saya cari menggunakan mesin pencari Scopus. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Indo. J. Chem yang nama penulisnya terkesan nama Indonesia banget. Setelah bertanya pada google, ternyata jurnal itu adalah milik UGM dan semua jurnalnya bisa diakses gratis (dua jempol buat almamater tercinta). Sempat bertanya-tanya dalam hati bagaimana para penulis manuscript ini memahami isi artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu. Mungkin mereka menggunakan jasa online translator atau minta diterjemahkan kolega yg bisa bahasa Indonesia.

Jujur saja, hasil penelitian yang dituliskan di manuscript ini layak diterbitkan, tapi penulisannya masih harus banyak diperbaiki. Melihat manuscript ini saya teringat obrolan ringan dengan seorang kawan tentang keraguannya untuk mengirimkan manuskrip di jurnal internasional. Menurutnya, untuk itu perlu menyertakan 'a big guy'  sebagai co-author untuk jaminan naskahnya diterima. Belum lagi masalah bahasa inggrisnya. Saat itu saya ga bisa berkomentar banyak karena saya juga masih belajar menulis, banyak dikoreksi oleh pembimbing, dan belum punya pengalaman berhubungan dengan pihak jurnal.

Setelah mereview manuscript itu, saya mendapat pengetahuan baru. Bagi saya, mengirimkan manuscript yang kualitasnya penulisannya menurut saya masih di bawah rata-rata ke suatu jurnal internasional dengan impact factor 2+ (menurut saya, sudah lumayan tinggi - jangan bandingin dengan Nature atau Science yak) merupakan suatu keberanian yang luar biasa, apalagi dengan mayoritas referensi jurnal nasional. Kami selalu diajari untuk memasukkan jurnal yang bersangkutan ke dalam daftar referensi.

Saya kemudian berpikir, jika manuscript ini lolos di meja editor dan masuk ke tahap review, rasanya kekhawatiran akan ditolak karena bahasa inggris yang kurang bagus perlu dihilangkan. Saya rasa kemampuan bahasa inggris para ilmuwan di Indonesia bagus karena rata-rata mereka membaca buku teks ataupun jurnal dalam bahasa inggris.

Tentang 'backing' orang yg sudah dikenal, saya rasa juga bukan jaminan mutlak. Saya pernah direject oleh jurnal meskipun sudah membawa nama besar sang profesor. Oh ya, terkenal itu relatif kan.

So, rasanya tidak ada alasan untuk tidak mencoba mengirimkan manuscript ke jurnal internasional. Memang awalnya sulit untuk menulis dalam bahasa inggris, tapi bukankah menulis itu butuh jam terbang? Semakin sering kita menulis, semakin lancar dan bagus tulisan kita. Tunjukkan pada dunia bahwa kita punya hasil penelitian yang baru, bernilai ilmiah tinggi, dan bisa menyumbangkan sesuatu demi perkembangan ilmu. Oh iya, sepengetahuan saya mempublikasikan di banyak journal international gratis kok :)

Jadi, masih ga berani untuk unjuk gigi kepada dunia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun