Mohon tunggu...
GITA ARYSHANDY
GITA ARYSHANDY Mohon Tunggu... Administrasi - +62, Mdn - Ind

Mahasiswi S1 Management Business

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perlindungan HAM terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia

28 Desember 2019   16:39 Diperbarui: 28 Desember 2019   16:37 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbesar di Asia Tenggara dan pengeksport sumber tenaga kerja terbesar ke Malaysia (Farbenblum, dkk., 2013; Harun, 2009). Malaysia menjadi negara penerima TKI terbesar sekitar 2,3 juta orang dimana menempati pekerjaan di berbagai sektor antara lain: sektor rumah tangga, jasa, pertanian, perkebunan, industry, dan konstruksi (Asfinawati dan Asriyanti, 2013).

Meningkatnya orang Indonesia yang bekerja di Malaysia dibandingkan dengan negara-negara lain karena tersedianya peluang kerja yang lebih besar di Malaysia, terutama sejak dilaksanakan Dasar Ekonomi Baru (DEB). Hal ini menyebabkan Malaysia disebut sebagai  New Industialized Countries (NIC) di Asia Tenggara sehingga memberikan peluang pekerjaan dan  perniagaan kepada rakyatnya dan orang asing.  Selain itu, letak geografis, biaya yang relatif murah dan mudah, serta kesamaan budaya dan bahasa yang tidak terlalu berbeda menyebabkan Malaysia menjadi pertimbangan utama sebagai tujuan calon TKI (Nasution, 2001).

Migrasi TKI ke Malaysia dapat terjadi disebabkan 2 faktor, yaitu faktor pendorong (push factor) di dalam negeri dan faktor penarik (pull factor) di luar negeri. Faktor pendorong migrasi TKI ke Malaysia adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia dan faktor pendidkan yang rendah sehingga berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Faktor penarik migrasi TKI ke Malaysia, yaitu tingginya pertumbuhan ekonomi di Malaysia terutama pada sektor pertanian dan sektor jasa serta rendahnya tingkat pengangguran di Malaysia. Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat diketahui bahwa menjadi TKI merupakan solusi untuk mendapatkan uang banyak dengan cara cepat.

Berdasarkan data pada tahun 2009, jumlah TKI yang bekerja diluar negeri mencapai 6,5 juta orang. Untuk melindungi TKI yang bekerja di luar negeri terutama Malaysia, pemerintah telah menetapkan UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan peraturan pelaksanaannya. Meskipun demikian, fakta dilapangan menunjukkan TKI belum dapat terlindungi secara layak dan baik. Berbagai kasus menimpa TKI yang bekerja di Malaysia, seperti penyiksaan, perkosaan, terancam razia, ditangkap, deportasi, perbudakan, terancam hukuman mati, hak dasar yang tidak dipenuhi (gaji tidak tepat waktu, pekerjaan yang overload, kerja tanpa batas waktu yang jelas hingga tidak ada hak cuti), dan masa overstay (kelebihan waktu tinggal) di Negara tempat bekerja.

Perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh TKI sangat bertentangan dengan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen. Pasal 7 dalam Kovenan ini mengatur tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain yaitu, "Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang keji tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah". Maka dari itu, negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hal, demokrasi, keadilan sosial, kesetaran dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakberlakuan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri secara filosifis karena belum mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, yakni Pancasila khususnya sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Secara Yuridis peraturan perundangan-undangan dibidang penempatan dan perlindungan TKI tidak sinkron secara vertical maupun horizontal, sedangkan secara sosiologis yaitu kurangnya tingkat kesadaran hukum calon TKI, kurangnya pengawasan dan pegawai pengawas ketenagakerjaan, dan penegakan hukum. Dengan demikian, untuk melindungi TKI yang bekerja di luar negeri secara layak harus dimulai dengan melakukan pembaharuan hukum terhadap UU No. 39 tahun 2004. Selanjutnya perlu dilakukan sosialosasi dengan baik kepada semua stakeholders dan dibarengi dengan penegakkan hukum yang tegas.

Mengatasi persoalan ketidakberlakuan UU No. 39 Tahun 2004 tersebut maka pemerintah merevisi UU tersebut menjadi UU No. 18 Tahun 2017 pada tanggal 25 Oktober 2017. Menurut Sekjen Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Hery Sudarmanto, UU ini merupakan revisi UU No. 39 Tahun 2004 yang minim mengatur soal perlindungan TKI, tetapi lebih banyak berbicara soal penempatan TKI. Terdapat sejumlah perbedaan UU No. 8 Tahun 2017 dibandingkan UU sebelumnya, yaitu adanya desentraslisasi perlindungan TKI dimana Pemerintah Daerah dituntut berperan besar dalam mengurus dan melindungi TKI sejak perekrutan. Keterlibatan Pemerintah Daerah merupakan salah satu unsur penting dalam membangun Desa Migran Produktif (Desmigratif) dimana siapapun yang ingin berkerja diluar negeri harus didaftar dan diproses di desa setempat. Kewenangan desa ini diatur dalam Pasal 42 UU No. 8 Tahun 2017, yaitu menerima dan memberikan informasi migrasi kepada masyarakat, melakukan verifikasi data dan pencatatan calon pekerja migran Indonesia.

Secara eksplisit Pasal 40 UU No. 18 Tahun 2017 mengatur tentang tanggung jawab pemerintah daerah provinsi meliputi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja untuk calon TKI, mengurus kepulangan TKI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi dan ketika PMI menghadapi masalah. Selain itu, pemerintah daerah juga mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan migran, menerbitkan izin perusahaan penempatan,  melaporkan hasil evaluasi terhadap kinerja perusahaan secara berjenjang dan periodik kepada menteri, menyediakan pos bantuan, pelayanan pemulangan dan pemberangkatan menyediakan dan memfasilitasi pelatihan vokasi calon pekerja migran.

Kelebihan lain UU No. 18 tahun 2017 adalah perlindungan sosial (asuransi) untuk pekerja migrant Indonesia bukan lagi asuransi swasta, tetapi BPJS Ketenagakerjaan (Pasal 29 UU No. 12 Tahun 2017), sanksi pidana berat dengan hukuman maksimal 10 tahun dan denda sebesar Rp 15 miliar abgi perorangan atau pejabat pemerintah yang melakukan penempatan PMI di luar negeri (PAsal 81 -- 83 UU No. 18 Tahun 2017). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemerintah sudah berupaya memperbaiki peraturan yang mengatur tentang perlindungan hak asasi dari TKI serta memfasilitasi calon TKI yang ingin bekerja di luar negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun