Setiap jahitan terselip harapan, setiap tarikan benang menggambarkan cinta, dan setiap pengorbanan adalah cinta tidak ternilai yang tersirat dibalik layar.
 Â
  Dengan sepasang tangan yang kini menjadi sandaran bagi anaknya, ia mengubah jarum dan benang menjadi alat untuk bertahan. Ratih Nirmala, seorang wanita paruh baya yang berprofesi sebagai penjahit yang menghidupi anaknya seorang diri. Sejak kepergian suaminya, Ratih bekerja keras untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Ratih Nirmala tinggal di rumah yang sederhana bersama putrinya, Ayudisha Nirankara. Gadis yang kerap disapa Ayudisha memiliki wajah manis dengan dua lesung di pipinya.
  Setiap pagi sebelum matahari terbit, Ratih bangun lebih awal untuk memulai hari dengan menghabiskan waktu di ruang kerja kecil yang dipenuhi kain dan benang. Setiap jahitan yang rapi dihasilkan Ratih menunjukkan betapa ia mencintai pekerjaannya. Dari sudut ruangan, Ayudisha memperhatikan ibunya saat bekerja. Ayudisha mengamati bagaimana tangan Ratih bergerak cepat di atas mesin jahit dan menghias pakaian dengan motif yang indah.Â
   Di setiap waktu luang yang mereka miliki, mereka berdua duduk bersama di ruangan kecil yang dipenuhi kain dan benang. Ayudisha melihat ibunya menjahit dengan fokus di bawah cahaya lampu kuning yang hangat, seakan setiap jarum dan benang menyimpan cerita tersendiri. Ayudisha memandang ibunya sebagai sosok yang tulus dan penuh kasih. Menurut Ayudisha, setiap pakaian dikerjakan ibunya adalah bentuk pengorbanan. Pengabdian ibunya terlihat di setiap jahitan yang menggambarkan ketulusan hatinya. Namun di balik layar, Ratih harus bekerja hingga larut malam dengan rasa lelah demi menghidupi kebutuhan Ayudisha.Â
   Di depan jendela kamarnya yang menghadap keluar, Ayudisha memandang langit dan perlahan meredup dalam kegelapan. Ayudisha duduk termenung dengan tatapan kosong, ia mengingat bahwa besok adalah hari di mana Ayudisha akan menginjak umur ke-17 tahun. Sejak kepergian ayahnya, hari ulang tahunnya adalah mimpi buruk bagi Ayudisha. Setiap perayaan ulang tahun, ayudisha hanya teringat kenangan pahit yang membuatnya merasakan kehilangan yang mendalam di hidupnya.
   Keesokan harinya, Ayudisha terbangun dengan perasaan yang hampa. Ayudisha menggeser tirai jendela, membiarkan sinar matahari menelusup ke dalam. Hari ini adalah hari Ayudhisa genap berusia 17 tahun. Meski usianya bertambah satu tahun, Ayudisha merasa tak ada kebahagiaan yang menyertainya. Ayudisha hanya menghela nafas panjang dan segera bersiap pergi ke sekolah.
   Kelas pertamanya akan segera di mulai, Ayudisha mengumpulkan keberanian untuk mengambil langkah masuk ke dalam ruang kelas. Ayudisha pun duduk di bangku dekat jendela, melirik ke arah jendela berharap dapat mengabaikan sejenak rasa kekhawatiran yang terus mengusik nya sejak pagi. Awalnya, semua berjalan dengan lancar. Ayudisha mengikuti pelajaran dengan baik, dan memperhatikan guru dengan fokus. Namun, suasana kelas berubah menjadi hening ketika guru mengumumkan hasil nilai ulangan harian akan dibagikan. Setiap siswa menunggu giliran dengan perasaan cemas, termasuk Ayudisha. Kertas demi kertas berpindah tangan, menunjukkan angka yang membuat beberapa siswa tersenyum dan sementara yang lain terlihat kecewa. Ayudisha mencoba menenangkan dirinya, namun rasa kegelisahan membuat tangannya sedikit gemetar. Pandangannya terus mengikuti pergerakan guru yang semakin mendekat ketika namanya disebut, Ayudisha mengambil kertas hasil ulangannya. Seketika dunianya seolah runtuh, angka merah terpampang jelas di kertas ulangannya.
  Jarum jam menunjukkan pukul 4 sore, menandakan bahwa jam pelajaran hari ini telah berakhir. Ayudisha pulang dengan perasaan berat, seakan beban di hatinya semakin bertambah. Sesampainya di rumah, suasana yang biasanya berbeda saat ia membuka pintu rumahnya tidak sanggup membalas senyuman hangat dari Ibunya. Terlihat Ibunya berdiri di depan pintu, menyambutnya dengan senyuman hangat dan mata penuh kasih. Namun, Ayudisha hanya menundukkan kepala dan berusaha menyembunyikan perasaan nya yang hancur.
  "Kamu kenapa, nak? Hari ini ada masalah di sekolah?" tanya ibunya sambil menatap wajah Ayudisha dengan khawatir.Â
   Ayudisha hanya menggelengkan kepala, ia tidak mampu mengungkapkan isi hatinya. Dengan perasaan yang berat, ia beranjak menuju kamarnya dan meninggalkan ibunya yang masih berdiri di tempatnya. Setelah Ayudisha pergi ke kamarnya, Ratih menghela nafas dan beranjak ke ruang kerja. Sejak pagi, Ratih fokus menjahit rebuah gaun sederhana dengan penuh ketulusan. Ratih tahu bahwa anaknya tidak pernah menyukai perayaan ulang tahun semenjak ayahnya, tetapi Ratih berharap hadiah sederhana ini bisa sedikit menyenangkan hati anaknya. Dengan senyuman penuh harapan Ratih mengambil hadiah sederhana tersebut dan melangkah menuju kamar Ayudisha.