Makanan tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan fisiologis semata, tetapi juga memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menyatukan individu dan kelompok masyarakat. Pulau Bali dengan kekayaan tradisi, budaya dan keindahan alamnya telah menjadi daya tarik utama bagi wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Namun, di tengah arus modernisasi yang signifikan, Bali dengan segudang tradisinya telah mengalami adaptasi untuk menghadapi tantangan pada dewasa ini. Peran makanan dalam mempertahankan identitas budaya dan menjaga keharmonisan kelompok masyarakat menjadi sangat penting. Salah satu tradisi yang sangat berharga dalam budaya Bali adalah tradisi megibung. Megibung merupakan sarana toleransi, simbol kebersamaan, solidaritas, dan keharmonisan yang mencerminkan nilai-nilai bangsa Indonesia. Sehingga, menjaga keseimbangan antara tradisi dan dan modernitas penting dilakukan untuk menjaga warisan leluhur bangsa.
Potensi Kuliner Nusantara
Potensi kuliner di Indonesia sangat tinggi. Pasalnya ada lebih dari 700 suku bangsa yang tersebar di Nusantara yang masing-masing memliki kuliner khas secara sajian dan cara menyantapnya. Secara tidak langsung ada budaya dan kearifan asli yang terkandung dalam setiap cita rasa di tiap daerah (Richardo Y. H, 2018). Makanan tradisional di Indonesia memiliki beragam cita rasa, mulai dari yang manis, pedas, gurih, hingga asam. Setiap makanan tersebut dapat mewakili identitas kuliner dan budaya suatu daerah. Oleh karenanya, makanan telah menjadi simbol identitas masyarakatnya, misalnya sajian Rendang yang identik dengan pulau
Sumatra, atau sajian Lawar dan Ayam Betutu yang terbuat dari base genep identik dengan Bali. Dengan demikian, maka penting untuk menjaga kelestarian masakan khas Indonesia sebagai warisan leluhur dan menjaga identitas budaya bangsa.
Budaya Makan Kelompok Masyarakat
Kebiasaan makan terbentuk dan tertanam sesuai dengan budaya yang ada di masing-masing keluarga. Suatu kelompok masyarakat dapat merubah kebiasaan makan mengikuti kebiasaan masyarakat tempat tinggalnya sekarang karena adanya variasi pemilihan bahan pangan dan proses pengolahannya yang beragam (Ibrahim, 2020). Perbedaan kebiasaan makan ini dapat menjadi ciri khas dari kelompok masyarakat tertentu. Sebagai contoh, masyarakat Jawa memiliki tradisi ngeliwet, merupakan kebiasaan menyantap makanan dengan menghidangkan Nasi Liwet atau nasi dengan beberapa lauk-pauk dan sayuran di atas daun pisang, kemudian orang-orang akan duduk lesehan mengelilingi daun pisang tersebut untuk menikmati hidangan secara bersama-sama.Â
Tradisi Megibung di Bali
Tak jauh berbeda dengan ngeliwet, di Bali juga terdapat tradisi makan bersama yang disebut dengan megibung. Megibung merupakan tradisi makan bersama yang dilakukan oleh masyarakat Bali, umunya terdiri dari enam hingga delapan orang dalam satu lingkaran. Megibung dimulai dari menyiapkan masakan tradisional secara bersama-sama, kemudian nasi diletakkan di atas wadah yang disebut gibungan, sedangkan lauk dan sayur yang akan disantap disebut dengan karangan (Pemkab Karangasem).
Tradisi megibung awal mulanya diperkenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Megibung pada awal Kerajaan Karangasem ialah cara raja menyatukan kekompakkan para prajuritnya (Sulistyawati, 2019). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengembangan tradisi megibung serta aspek tradisi setelah perang berlaku norma setempat atau masing-masing desa (Sukerti, 2017). Sehingga, pasca perang tradisi megibung mengikuti norma-norma adat setempat. Megibung umumnya diselenggarakan pada saat momen-momen tertentu seperti pada saat dilaksanakannya panca
yadnya.Â
Pada setiap tahapan pelaksanaanya, dalam tradisi ini telah terkandung nilai-nilai filosofis maupun etika yang dapat mendorong rasa kekeluargaan serta keakraban. Mulai dari tahap persiapan hingga pasca menyatap hidangan segala prosesnya mengikuti norma adat
masing-masing daerah. Dalam pelaksanaan megibung hal yang tidak kalah penting yang harus diperhatikan adalah etika makan. Nilai ketuhanan dilihat dengan kepuasan tamu setelah disuguhkan makanan. Kedisiplinan ditunjukkan dengan mulai dan selesai makan secara bersama-sama. Penghargaan serta toleransi ditunjukkan dengan peserta megibung yang bercampur baur dari berbagai golongan. Keadilan dapat dilihat dengan membagi makanan dengan sama rata kepada setiap peserta. Menjunjung persatuan ditunjukkan dengan mengepalkan nasi terlebih dahulu. Dan gotong royong dengan bekerja sama membagikan makanan, maupun proses penyiapan makanan yang akan disantap. Etika makan dalam tradisi megibung mengandung pendidikan moral yang tinggi seperti sopan santun, kesabaran, memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan, serta saling menghargai sehingga sudah
sepatutnya untuk tetap dijaga, dilestarikan, dan diwariskan kepada generasi penerus (Dewi, dkk. 2021).
Adaptasi Di Era Modern
Tradisi megibung telah menjadi identitas masyarakat Bali sejak sekian abad. Keberlangsungan tradisi ini-pun juga telah mengalami adaptasi zaman serta komodifikasi di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai contoh, tradisi megibung telah menjamur ke luar Bali
tepatnya di Lombok, sejak penaklukan kawasan yang dilakukan oleh I Gusti Anglurah Ketut Karangasem. Pelaksanaan tradisi megibung di Bali awalnya dikaitkan dengan upacara panca yadnya, sedangkan di Lombok, pada etnik Sasak, dikaitkan dengan upacara roah atau syukuran.
Komodifikasi tersebut nyatanya tidak hanya sekadar untuk menjawab tantangan zaman namun juga dapat memberi dampak positif kepada masyarakat pada kawasan tersebut. Lombok sebagai destinasi wisata melahirkan komodifikasi terhadap budaya terutama tradisi megibung yang diselengarakan oleh event-event organizer dalam upaya meningkatkan kunjungan wisata (Arta, 2017). Di Bali sendiri tradisi megibung kini telah berkembang menjadi salah satu daya tarik wisata kuliner. Tidak sedikit rumah makan, maupun restoran di Bali yang menyediakan menu khusus gibungan. Meskipun terdapat beberapa perubahan secara penyajian maupun pengolahan makanan dari yang tradisional ke yang lebih modern, sebagai contoh, bila dahulu alas yang digunakan untuk menaruh makanan adalah daun pisang, kini penggunaan daun pisang dapat digantikan dengan piring porselen maupun aluminium. Jika terdahulu segala proses mulai dari persiapan hingga menyantap makanan dilakukan secara bersama kini sebagian besar hanya aktifitas makannya saja yang masih dilakukan bersama. Sebab, kebanyakan proses penyiapan makanan dilakukan oleh catering maupun juru masak khusus.
Meskipun telah mengalami komodifikasi, namun tidak banyak mengurangi makna kebersamaan di dalamnya, sebab selama proses menyantap makanan masih terkandung nilainilai etika dan kebersamaan. Justru, ini memberikan kemudahan bagi masyarakat Bali serta meningkatkan produktifitas mereka sehingga tidak perlu mengorbankan waktu bekerja mereka dan tradisi ini-pun masih dapat dilestarikan. Komodifikasi ini diyakini dapat meningkatkan peminat dan dapat meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat. Tidak ada salahnya melakukan komodifikasi, tetapi menjadi salah jika menghilangkan nilai-nilai kemasyarakatan, keakraban, kekeluargaan dan gotong royong (Arta, 2017).Â
Pada dewasa ini, megibung dapat mengikat rasa persaudaraan dan kebersamaan masyarakat Bali di tengah keriuhan masyarakat
modern yang lebih individualis. Tentunya, ini menjadi angin segar dan win-win solution bagi kelestarian tradisi megibung serta perekonomian masyarakat Bali.