Aku pecandu. Ya, aku pecandu. Bukan, bukan pecandu narkoba. Bukan juga pecandu alkohol atau gila kerja, ataupun pecandu belanja. Aku pecandu majalah. Ya, betul. Aku pecandu majalah. Aku pecandu majalah wanita. Kalau kaum fanatis menjadikan kitab suci agama mereka sebagai pedoman hidup, aku menjadikan majalah-majalah perempuan sebagai injilku. Kemanapun aku melangkah, aku akan mencari petunjuk dari majalah-majalah itu. Apa yang aku baca dari majalah itu, itulah yang aku terapkan dalam hidupku.
Seperti sekarang, mengenai suamiku. Sejak sebelum menikahinya, aku merasa kurang cocok dengannya. Namun karena alasan usia dan Ibuku yang sudah setuju, maka aku pun mengiyakan pinangannya untuk memperistriku. Semakin tahun bertambah dalam pernikahan kami, semakin banyak hal yang membuatku semakin tidak nyaman bersamanya. Buatku ada-ada saja kekurangannya. Tak ada karakternya yang sesuai menurut injilku, majalah-majalah tersayangku itu,
Suatu artikel di majalah Anggun, pernah menyebutkan bahwa suami seharusnya romantis terhadap pasangannya. Misalnya, mengatur candle light dinner ketika ulang tahun pernikahan atau ulang tahun pasangannya. Membelikan bunga secara tiba-tiba ketika pulang kerja di sore hari. Memijat dengan rasa sayang ketika pasangannya sedang kelelahan. Dan sebagainyaa.... Ah, seandainya, Dion, suamiku seperti itu. Aku akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.
Di artikel lainnya, di majalah Suami Istri Bahagia, disebutkan bahwa suami sebaiknya memiliki sikap-sikap sempurna terhadap sang istri. Misalnya, selalu mengatakan sayang secara spontan pada istri, meninggalkan pesan-pesan yang menggambarkan perasaan sayang suami kepada istri, menganggap istri sebagai pasangan yang paling sempurna baginya, menyanjung kelebihan istri, dan seterusnya. Ah... sekali lagi aku berkhayal, seandainya saja Dion seperti itu kepadaku. Aku akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.
Pendek kata, aku sudah berusaha sebisa mungkin mendorong Dion untuk menjadi suami ideal yang digambarkan para majalah itu. Namun hasilnya tetap nol. Aku sudah memberikan pesan-pesan romantis di meja kerjanya, sampai-sampai sang sekretaris di kantornya heran karena aku sangat sering mendatangi kantor Dion ketika ia tak berada di tempat. Pesan-pesan elektronik dan via pesan singkat pun tak lupa kukirimkan. Aku pun mempelajari masakan-masakan favoritnya sehingga setiap malam aku dapat menyediakan masakan ala chef ternama di meja makan kami. Padahal tadinya membedakan mana garam atau gula saja sudah merupakan tugas berat bagiku. Aku sudah berusaha memberikan perlakuan nan romantis di tempat tidur baginya. Namun semua usahaku tampaknya hanya ditanggapi dingin saja oleh Dion.
Aku pun mulai tidak puas dengan semu majalah yang aku baca. Untuk kesekian kalinya aku mencari lagi. Kali ini aku mencari majalah yang memberikan cara-cara jitu agar suamiku semakin romantis dan menyayangiku. Aku pun pergi ke sebuah toko buku kenamaan yang memiliki berjuta-juta koleksi majalah, baik yang berbahasa asing dan lokal. Tak juga aku menemukannya. Yang ada malah aku menemukan ide-ide untuk berbelanja berbagai produk fashion. Mulai dari jepit rambut, mascara baru, baju sampai sepatu wedges yang lagi trend. Maka aku sudahi hari itu dengan keluar menenteng sejumlah tas dengan berbagai barang, namun tidak berhasil menemukan majalah berisi tips yang aku inginkan itu.
Mataku melihat tak tentu arah ke pinggir trotoar. Mobilku dikendarai oleh supir setiaku. Si supir sudah hafal kebiasaan belanjaku. Maka ketika melewati suatu sudut kota dengan sebuah toko, sekecil apapun, si supir akan melambatkan mobil, agar aku bisa meneliti isi toko itu sekilas. Begitu juga kali ini. Mataku tertaut pada sebuah toko buku kecil yang kelihatan begitu antik. Aku pun memberi tanda kepada si supir, agar menepi dan berhenti di depan toko tersebut. Tak ada label nama nan menarik di depan toko itu. Toko itu hanya berdiri dengan bersahaja dan rapi. Lis jendela dan pintunya tampak sederhana, terbuat dari kayu jati kokoh dicat terang. Terpampang tanda ’buka’ di depan pintunya. Terlihat beberapa buku dan majalah yang tak aku kenal di etalasenya. Aku pun turun dari mobil sambil meneliti satu per satu buku dan majalah yang ada. Perlahan aku mendorong pintu itu. Berkelininglah bel kecil di pintu.
Langkahku agak bingung karena belum mengenal denah toko itu dengan baik. Aku berhenti sejenak di depan pintu yang tertutup otomatis. Aku memandang ke kiri, dimana kebetulan tampak berderet-deret majalah. Langsung saja aku mengarahkan langkahku ke situ. Aku mulai merasa tepat berada di situ, sebab kulihat banyak majalah perempuan yang dipamerkan. Aku membuka satu per satu majalah itu. Aneh. Isi majalah-majalah itu tampak berbeda dari majalah-majalah yang selama ini aku baca. Karena asyik meneliti isi majalah-majalah itu, aku tak mendengar si penjaga toko datang.
”Bisa saya bantu, Bu?” tanyanya ramah dengan suara dalam dan berat.
Aku sedikit terlonjak, kembali menyadari bahwa aku berada di dalam toko buku kecil itu. Aku mendongak dan menyadari lelaki penjaga toko itu telah ada di dekatnya. Wajahnya yang sudah sedikit menua tampak ramah. Rambutnya yang mulai beruban tidak mengurangi wajahnya yang simpatik.
”Yyaaa... saya hanya ingin membeli beberapa majalah ini, Pak...” jawabku sedikit tergagap.