Mohon tunggu...
gisela dirks
gisela dirks Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Halo, perkenalkan nama saya Gisela Brigitte Venesya Dirks. Saya seorang mahasiswa falkutas ilmu komunikasi program S1 di Universitas Esa Unggul dengan program studi Jurnalistik. Harapan saya bergabung dan membuat karya tulisan di kompasiana.com adalah agar skill menulis saya bisa berkembang serta semoga tulisan saya bisa menjadi sebuah kegunaan bagi orang orang yang membutuhkan informasi mengenai yang saya tulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

FOMO Vs JOMO? Dilema Generasi Z dalam Memilih Kebahagiaan?

17 Oktober 2024   18:00 Diperbarui: 17 Oktober 2024   18:07 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : https://gen987fm.com

Generasi Z tumbuh dalam era digital yang penuh dengan informasi dan interaksi online, menjadikan mereka sangat akrab dengan konsep FOMO (Fear of Missing Out). FOMO adalah perasaan cemas atau takut bahwa seseorang akan melewatkan pengalaman, tren, atau momen penting yang orang lain alami. 

Dengan adanya media sosial yang terus memperlihatkan kehidupan orang lain, Generasi Z sering kali merasa tertekan untuk selalu terhubung dan mengikuti apa yang sedang ramai diperbincangkan. Akibatnya, mereka kerap merasa tidak puas atau cemas, meskipun secara objektif mereka tidak ketinggalan apa pun yang benar-benar penting.

Sebaliknya, muncul konsep JOMO (Joy of Missing Out) yang menawarkan pandangan berbeda tentang kebahagiaan. JOMO mengajarkan bahwa melewatkan sesuatu tidak selalu buruk, bahkan bisa menjadi sumber kebahagiaan tersendiri. Generasi Z yang memilih JOMO lebih menghargai waktu untuk diri sendiri, menikmati momen-momen tenang, dan tidak merasa tertekan oleh tren atau ajakan sosial. 

Mereka lebih fokus pada hal-hal yang mendatangkan kebahagiaan pribadi, tanpa harus merasa tergesa-gesa untuk "ikut-ikutan" dalam setiap kesempatan sosial yang muncul.

Dilema antara FOMO dan JOMO seringkali terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang terjebak dalam FOMO mungkin merasa perlu terus memperbarui status di media sosial, menghadiri semua acara, dan mengikuti semua tren terbaru agar tidak tertinggal. 

Namun, hal ini justru bisa membuat mereka merasa lelah secara emosional dan kehilangan fokus pada hal-hal yang sebenarnya lebih penting dalam hidup mereka. Di sisi lain, mereka yang memilih JOMO justru cenderung lebih damai dan puas dengan pilihan mereka untuk tidak selalu terlibat dalam segala hal.

Dampak dari FOMO terhadap kesehatan mental juga patut diperhatikan. Perasaan selalu ketinggalan atau kurang berprestasi dibandingkan orang lain bisa menimbulkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi. 

Media sosial yang menampilkan gambaran hidup sempurna orang lain sering kali memperparah perasaan ini, padahal kenyataannya apa yang ditampilkan di media sosial tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya. Sementara itu, orang yang mengadopsi JOMO lebih mampu menjaga keseimbangan emosional dan tidak mudah terguncang oleh tekanan sosial di dunia maya.

Namun, menemukan keseimbangan antara FOMO dan JOMO adalah kunci utama. Generasi Z harus belajar bahwa tidak ada salahnya untuk terkadang "ketinggalan" demi menjaga kesehatan mental dan emosional. 

Di sisi lain, ada saat-saat tertentu di mana terlibat dalam acara sosial atau mengikuti tren juga dapat memperkaya pengalaman hidup. Kebijaksanaan dalam memilih kapan harus terlibat dan kapan harus mengambil waktu untuk diri sendiri menjadi keterampilan penting yang perlu dikembangkan di tengah arus informasi yang terus mengalir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun