Mohon tunggu...
giriyantoismail
giriyantoismail Mohon Tunggu... -

Penulis Amatir dan seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang enerjik nan mempesona

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tarik Lagi Mainan Pribumi

22 September 2015   09:53 Diperbarui: 22 September 2015   10:28 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anugrah adalah bisa melihat anak–anak bermain dengan penuh canda dan suka dimuka mereka. Ekspresi kegirangan bermain tanpa beban diiringi dengan tawa. Membuat hati terbawa ke dalam suasana yang santai dan rileks. Setiap orang yang telah dewasa pasti melewati fase anak anak. Jika ada yang mengaku tidak merasakan fase anak dapat kita pertanyakan kejiwaanya. Mungkin saja dia lelah dan sedang stres. Karena memang sebelum dewasa pasti melewati masa anak dan remaja barulah dapat menjadi individu yang dewasa. Jikalau dari lahir langung menjadi dewasa tanpa melewati fase anak –anak dapat dipertanyakan juga spesiesnya. Bisa jadi orang itu bukanlah manusia, melainkan jin dan lain sebagainya. Yang saya maksud dewasa disini bukanlah dalam konteks dewasa kesifatan. Tapi dewasa yang sudah matang dan telah melewat masa–masa remaja dengan modal yang cukup terjun kedalam kehidupan masyarakat secara nyata dan professional. Jadi semua manusia yang telah dewasa pasti melewati fase anak-anak. Fase dimana kita semua bermain riang gembira, tiada tugas, makalah, beban, dan kesalahan.

 

Disaat saya berumur 6 tahun yang berarti sekitar tahun 2004 permainan masih bersifat tradisional dan sangat murah bahkan gratis. Antara lain, gangsing, gobak sodor, kelereng, layangan, petak umpet, ular naga, engklek dsb. Permainan tadi itu bisa dibilang permaian yang tanpa uang, kalaupun memakai pasti sangat murah. Seperti gangsig yang dulu bisa didapatkan dengan 1000 Rupiah, kelereng 500 Rupiah bisa dapat 2 -4 biji, layangan 500 Rupiah dan permainan yang lain hanya bermodalkan kayu panjang untuk membuat garis di pasir tempat kami berlarian. Gobak sodor hanya perlu membuat garis persegi panjang yang diberi 3 garis horizontal dan 1 garis vertical. Petak umpet hanya membutuhkan dinding bahkan pohon pun bisa. Tiada dinding pohon pun jadi. Ular naga tinggal membuat barisan manusia dan 2 orang menjadi jembatan yang dilewati naga (barisan manusia) dan untuk engklek kita tinggal membuat beberapa pola gambar engklek, mulai dari yang mudah hingga sulit.

 

Bermain di zaman dulu sangatlah asyik nan menyenangkan. Kita bisa berlarian yang sekaligus melatih otot dan stamina, kita bersembunyi dalam petak umpet yang sekaligus melatih skill menyembunyikan diri dan latih otak, kita bermain gobak sodor yang skelaigus melatih kekuatan mata dan otak menangkap peristiwa dan memberikan rangsangan untuk bergerak dan masih banyak lagi. Jika dibeberkan satu persatu akan habis halaman ini. Hal tadi terbukti saaat kita menggunakan kacamata khusus per suatu permainan. Jika kita memakai kacamata umum, maka manfaat yang diperoleh sangatlah luas jika kita bermain permainan itu. Dan yang sangat penting manfaatnya adalah membuat suasana menjadi cair dan mempererat tali pertemanan dimasa kecil.

 

Zaman sekarang sudah berbeda, permainan semacam tadi sudah tidak laku dikehidupan anak – anak. Mereka lebih tertarik untuk bermain sesuatu yang tidak nyata, yaitu game virtual mulai dari game gadget, psp, ps 3, ps 4, game pc hingga game hp yang sangat mudah untuk digunakan. Bermain game yang fana, maya, tidak jelas dan palsu. Mereka hanya diam dirumah melotot kearah layar dan melupakan segalanya. Melupakan teman bermainnya, melupakan kehadiran orang dirumahnya bahkan melupakan waktu belajarnya. Mereka lebih banyak berdiam diri dirumah untuk ngegame daripada harus keluar dan bermain permainan lawas atau jadoel. Sudah tidak ada lagi permainan lawas, suda tergantikan dengan permainan yang canggih dan serba modern. Sudah tidak ada lagi kelompok bermain yang bermain gobak sodor ataupun petak umpet. Sangat disayangkan jika pemainan yang dulu hitz kini hilang ditelan zaman yang semakin modern.

 

Fenomena ini terjadi karena globalisasi yang semakin deras dan diikuti dengan berkembangnya modernisme di Indonesia. Budaya timur tergempur oleh budaya modern, kelereng sudah tergantikan gadget. Mungkin mereka akan bingung jika diberikan kelereng begitu saja. Tidak hanya dari arah anak itu sendiri yang melupakan permainan lawas. Karena orang tua mereka juga merasa bahwa main diluar akan membuat hitam, dekil dsb. Sebagian orang berfikir stereotip tentang permainan lama. Makanya mereka membelikan anaknya game modern agar tidak pergi dari rumah. Modernism harus disaring, tidak bisa langsung di terima begitu saja, budaya harus diangkat ke atas karena itu martabat. Tidak sedih dan malu kah kita melihat anak zaman sekarang melupakan permainan tradisional yang menggigit pada zamannya? Mari kita semua tetapkan hati untuk melestarian budaya sendiri , jangan sampai budaya diaku-akui, tetapkan dalam diri dan realisasikan kedalam kehidupan negri, tarik lagi mainan pribumi. Aku cinta Indonesiaku. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun