Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Yuk Ajari Anak untuk Kecewa dengan Baik

27 April 2014   05:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: todaysparentsblog.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(ilustrasi: todaysparentsblog.com)"][/caption] Pernahkah Anda membawa putra-putri ke minimarket lalu anak Anda meminta macam-macam barang? Mulai dari jelly, minuman jeruk, pasta coklat, roti dsb. Alih-alih mau melarang atau tidak membolehkan, anak Anda akan merengek kemudian menangis. Atau yang namanya orangtua, rasa ingin 'membahagiakan' dengan membeli semua yang diingini anak Anda sebagai sesuatu yang 'wajib'. Inginnya tidak menuruti keinginan anak, tapi daripada menangis nggerong-nggerong di minimarket, dibelilah saja. Jatuhnya, pengeluaran bertambah dan mungkin barang yang ingin dibeli malah tidak terbeli. Hal ini bukan sekadar orangtua punya uang atau tidak. Mau dia orang kaya atau ultra kaya, mendidik anak adalah kewajiban orangtua. Anak yang selalu dituruti kehendaknya, akan cenderung manja. Meminta adalah senjata mereka jika ingin sesuatu. Sedang amunisi pamungkas jika gagal atau akan tidak berhasil adalah merengek. Ditambah bom waktu berupa nangis nggerong-nggerong ditempat. Apalagi ditambah guling-guling. Duh, pasti suasana yang membuat orangtua terenyuh dan akhirnya mengalah untuk membelikan. Dan secara tidak sadar Anda termakan strategi anak sendiri. Strategi ini akan diulang. Karena anak Anda tahu 'titik lemah' orangtuanya. Jatuhnya, orangtua akan seolah diatur anaknya, bukan kebalikannya. Anak menjadi manja dan tidak bisa menerima rasa kecewa. Kecewa tidak ada dalam kamus hidup mereka. Mereka menjadi dependan kepada orangtua. Lebih jauh, anak tidak bisa memecahkan problem mereka sendiri. Atau malah, anak akan menjadi tidak hormat kepada orangtua jika suatu barang tidak dibelikan. Duh, kita sebagai orangtua pasti tidak ingin seperti itu dong. Ajari (Sejak Dini) Anak Untuk Kecewa Mari kita berangkat dari axioma hidup 'Life is a matter of choice'. Benar adanya, hidup itu adalah pilihan. Mulai dari Anda membuka mata, hidup ini adalah pilihan. Anda mau bangun pagi atau agak siang, adalah pilihan. Anda mau mandi dulu atau makan dulu setelahnya, adalah pilihan. Sampai urusan jodoh, pekerjaan, menyekolahkan anak, memilih rumah, dsb. Hidup adalah pilihan. Dan seorang anak, sejak dini harus bisa kecewa atas pilihannya. Tentunya dengan cara baik. Mengajarkan anak memilih adalah tanggung jawab orangtua. Dan dalam hal ini, orangtua sebagai yang empunya ilmu memilih mana yang baik atau buruk, wajib mengajarkannya. Jika pilihan itu tidak mengenakkan untuk si anak pun, orangtua harus mau memahamkan. Saat seorang anak memilih sesuai pilihan yang diberikan, dengan konsekuensi yang dikomunikasikan dengan baik, anak akan merasa kecewa dengan baik. Dan dari sini si anak belajar akan kehidupan dan skill berkehidupan. Cara ini, saya adaptasi dari beberapa artikel yang istri saya sampaikan. Beberapanya adalah dari pmerhati anak, Toge Aprilianto dan Mona Ratulia. Dan beberapa caranya telah saya terapkan kepada putri kecil saya yang hendak beranjak 2 tahun. Dan sejauh ini bisa memahamkan dirinya akan rasa kecewa. Dan berkecewa dengan baik. Berikan Anak Tiga 'Cita Rasa' Pilihan Yang saya maksud 'cita rasa' adalah konsekuensi atau enak-tidak-enak suatu pilihan untuk anak. Pilihan harus dipahami pertama cukup mudah. Memberikan pilihan adalah antara yang Enak atau Tidak Enak. Inilah pilihan yang mudah dipilih oleh anak Anda. Pastinya akan memilih sesuatu yang enak. Kalau ada yang enak kenapa diberikan yang pilihan tidak enak. Ingat, ini bukan masalah itu. Ini adalah masalah memberikan pilihan dengan komunikasi yang baik. Kemudian latihlah anak untuk memilih antara Enak Atau Enak. Contohnya, jika hendak pergi ke minimarket berikan anak Anda pilihan terlebih dahulu. Misalnya nanti di minimarket berikan dua pilihan makanan yang ia suka. Misalnya anak diminta memilih antara es krim atau Oreo. Minta anak Anda memilih cukup salah satunya saja. Setelah jatuh pilihan, baru berangkat ke minimarket. Negosiasi antara anak dengan Anda selesai saat anak sudah menetapkan pilihannya. Jangan tergesa, orangtua luangkanlah sedikit waktu menunggu dan bersabar. Cita rasa pilihan ke tiga adalah Tidak Enak Atau Tidak Enak. Lho kok bisa memberi yang tidak enak dengan yang tidak enak? Bisa saja. Karena hidup toh tidak selamanya enak. Contohnya, jika anak Anda tidak ingin mandi sore hari karena malas. Berikan ia pilihan yang sama-sama tidak enak. Minta anak Anda pilih antara dimandikan Ayah atau Bunda. Pilihlah salah satu untuk kemudian dimandikan oleh pihak yang dipilih anak. Sebelumnya, berikan pemahaman konsekuensi jika tidak mandi sore. Gatal dirubung nyamuk nanti ketika tidur misalnya. Sesuatu yang logis. Kuncinya Adalah Komunikasi Dan Negosiasi Anak akan memandang orangtuanya adalah orangtua. Namun kadang kita meremehkan seorang anak. Kadang kita anggap anak adalah miniatur diri kita. Ia adalah serupa dengan sifat kita. Dan ialah cerminan diri kita. Jadi komunikasi yang terjadi adalah satu arah. Anak adalah objek, sedang orangtua adalah subjek. Orangtua adalah panutan tanpa harus memberikan pemahaman secara pola fikir anak yang unik, tentan apa itu panutan. Anak Anda adalah individu unik. Ia peniru ulung atas semua yang ada disekitarnya. Pola mimikri (meniru) untuk kemudian menjadi repetisi tingkah laku adalah yang mereka lakukan. Dari polah kita yang kadang 'ga tegaan' menjadi sebuah pola repetisi anak untuk menodong orangtuanya. Sekali lagi, kecewa tidak diinginkan anak, bahkan orangtua. Anak lalu menjadi manja. Kalau sampai besar atau masa remaja, kecewa bukan menjadi suatu yang dipahami dan dilatih dengan baik. Tidak heran jika ada anak yang membunuh orangtuanya karena tidak dibelikan motor. Walau anak itu tahu ia berasal dari keluarga tidak mampu. Intinya adalah komunikasi dan negosiasi. Komunikasi adalah kunci utama orangtua mendidik. Dan mendidik anak pada awalnya dan sebagian besar hidupnya nanti harus ada dari rumah dan orangtua. Komunikasi yang baik sejak dini adalah fondasi awal anak memahami hidupnya nanti. Komunikasi ini dibuat oleh orangtua. Jangan kira anak kita yang bicaranya tidak jelas itu lucu. Kemudian kita meniru-niru gaya lucu ucapannya sembari tertawa. Anak malah menganggap hal yang ingin disampaikan adalah lucu. Pesannya tidak tersampaikan, anak memahami komunikasi adalah hal yang lucu. Tertawalah sewajarnya. Jangan sampai keterusan apalagi selalu menertawakan anak sendiri. Jika sudah mendekati usia 2 tahun seperti putri saya, kadang bisa sampai marah. Jikalau kata yang sebisanya ia ucapkan tidak dipahami. Saya pun berusaha untuk sabar memahami dan mengulangi apa yang ia ucapkan. Setelah paham sembari mencoba menunjuk barang atau hal yang ia mau, barulah ia diam. Komunikasi harus berjalan dua arah. Anakpun subjek orangtua. Dan setelah komunikasi berjalan baik, pilihan yang ada diatas pun harus selalu didasari negosiasi. Dan tentu negosiasi berdasar komunikasi yang baik. Dan negosiasi ini pun berujung enak maupun tidak enak. Sehingga konsekuensi yang ada sebisa mungkin dibicarakan. Baik itu yang baik atau buruk, berikan pemahaman konsekuensi yang logis dan tidak berbohong. Karena berbohong bisa saja diwarisi sampai ia dewasa (Artikel saya yang membahasnya: Bohongnya Anak Diajari Dari Kecil Lho?) Jika anak melanggar konsekuensi, ingatkan pada pilihan yang sudah dinegosiasikan. Misalnya, setelah sampai minimarket dengan pilihan Enak atau Enak, anak kita mau menambah barang lain. Maka ingatkan akan pilihan dari negosiasi yang sudah dibuat. Pada awalnya mungkin anak menangis. Biarkan ia menangis. Biarkan ia merasakan kecewa atas pilihannya sendiri. Pilihan yang diantara anak dengan orangtua sudah negosiasikan. Sambil tetap ingatkan pilihannya, sabarkan diri Anda sebagai orangtua. Karena di lain kesempatan anak akan memahami kejadian ini sebagai kecewa yang baik. Toh ia sudah mendapatkan yang sudah ia pilih. Setelah berjalan beberapa kali, tetaplah konsisten. Semua situasi dan kondisi yang mungkin muncul bukan halangan Anda melatih anak kecewa. Konsistensi setelah Anda mampu menjalankan ini juga merupakan kunci. Salam, Solo. 26 April 2014 10:28 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun