Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tidak Etisnya Komersialisasi WiFi di Kampus

3 Desember 2014   04:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:11 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14175385501510140086

[caption id="attachment_380089" align="aligncenter" width="595" caption="(ilustrasi: businessdailyafrica.com)"][/caption] Hampir semua keperluan akademik maupun administrasi mahasiswa dilakukan secara online. Di kampus tempat saya mengajar, baik mencari materi kuliah, menilai IPS (Indeks Prestasi Semester) mahasiswa, dan sampai mengisi KRS (Kartu Rencana Studi) dilakukan secara online. Internet bukan menjadi menjadi prioritas utama penyokong akademik mahasiswa maupun dosen. Namun pula penyokong kegiatan administrasi yang juga penting. Internet dan kegiatan civitas akademika seolah sudah menjadi kesatuan utuh. Sehingga, akses internet sekaligus bandwidth yang memadai mutlak menjadi sebuah kebutuhan bagi sebuah kampus. Namun, apa jadinya jika kebutuhan utama akses dan bandwidth dikomersialisasi sedemikian rupa. Wajar dan jamak adanya jika akses dan bandwidth internet berbayar. Tidak ada internet yang benar-benar gratis. Apalagi dengan membangun infrastruktur internet yang tidak murah. Karena, akses WiFi kampus seharusnya dapat diakses dimanapun di sudut kampus. WiFi yang baik tentunya menunjang kinerja akademik dosen dan mahasiswa. Apalagi seusai semesteran. Dimana akses untuk KRS dan pengunggahan nilai online harus menyediakan server yang baik dan kencang. Semuanya membutuhkan biaya dan perawatan. Kampus wajib melakukan hal ini. Namun apa jadinya jika pihak ketiga campur tangan? Seperti pengalaman rekan sejawat yang anaknya kuliah di salah satu Universitas ternama dan tertua di Bandung. Disana, untuk mengakses internet yang cepat dan stabil, mahasiswa harus membayar. Kurang lebih Rp. 15.000/bulan. Dan itu membayar ke unit IT (Informasi Teknologi). Karena unit IT-lah yang memang memiliki infrastruktur jaringan internet. Sehingga, WiFi di kampus teman sejawat tadi kencang dan stabil. Toh sudah membayar sejumlah uang. Dan nominalnya cukup murah dibanding membeli paket Internet dari provider. Kisaran Rp. 50.000 sampai Rp. 150.000. untuk internet unlimited satu bulan tentunya menjadi beban finansial mahasiswa. Landasan De Jure Penyediaan Bandwith dan Akses Internet Kampus Setahu saya, penyediaan bandwith dan akses internet menjadi kewajiban kampus. Hal ini jelas tertera dalam indikator Borang Akreditasi Perguruan Tinggi (PT) terbitan Kemdiknas tahun 2011. Borang Akreditasi ini adalah susunan asesmen penilaian suatu PT (baik PTN/PTS) guna mendapat Akreditasi A/B/C. Tentunya dengan Akreditasi A terbaik, dan C terendah. Dan, penyediaan akses dan bandwidth internet juga merupakan salah satu indikator penilaian PT Negri atau PT Swasta. Detailnya, poin tentang hal ini ada pada Buku 3 Borang AIPT 2011 dari Ditjen DIKTI Kemendiknas. Berikut screenshot butir indikator tersebut. (Lebih lengkapnya, bisa diunduh di sini) [caption id="" align="aligncenter" width="449" caption="(Indikator 6.3.5 Borang Akreditasi BAN-PT Dikti 2011 - screenshot dok.pri)"][/caption] Dari Standar 6 Borang, tentang Pembiayaan, Prasarana, Sarana dan Sistem Informasi, pada poin 6.3 tentang Sistem Informasi di 6.3.5 (screenshot atas) dan 6.3.6 (screenshot bawah) sudah jelas dinyatakan. Intinya, bahwa kampus harus menyediakan sistem informasi. Baik itu website institusi, fasilitas internet, jaringan lokal dan jaringan nirkabel. Dan pada jaringan nirkabel, WiFi termasuk ke dalam kategori ini. Jaringan lokal termasuk penyediaan akses LAN pada kantor atau unit dalam kampus. [caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="(Indikator 6.3.6 & 6.3.7 Borang Akreditasi BAN-PT Dikti 2011 - screenshot dok.pri)"][/caption] Lebih detail, pada poin 6.3.6, kapasitas bandwidth harus diperhitungkan. Dalam hal ini, semakin banyak mahasiswa di satu kampus. Maka penyediaan bandwidth yang besar dan lancar juga menjadi wajib. Karena kapasitas bandwidth dihitung berdasarkan jumlah mahasiswa kampus tersebut. Besarnya bandwidth harus dijelaskan dengan baik dalam poin indikator 6.5.1 pada Borang Akreditasi. Karena semua penjelasan sistem IT terkait dengan proses pembelajaran atau e-learning. Kenapa saya anggap penyediaan akses dan bandwidth pada Borang Akreditasi PT hanya sekadar landasan de jure alias tertulis saja. Karena de facto, yang saya alami akses dan bandwidth di kampus saya khususnya mengecewakan. Entah di kampus Anda atau kampus lain yang pernah Anda kunjungi. Sudah lama dan bosan saya dan mahasiswa prihatin dalam hal bandwith dan akses di kampus kami. Lambat dan terbatasnya akses dan WiFi yang ada membuat kami harus membawa modem sendiri. Dan umumnya modem, jaringan provider pada waktu pagi dan siang sangat lambat. Membuka halaman muka Google atau Bing saja sudah syukur. Padahal waktu pagi dan siag ini adalah waktu efektif perkuliahan dan kantor. Saat Pilihan Menjadi Prioritas, Dan Prioritas (Tidak Lagi) Menjadi Pilihan Akses WiFI di kampus kami, sebenarnya tertolong dengan adanya pihak ketiga. Pihak ketiga ini menyediakan bandwith yang kencang dan stabil. Akses WiFi-nya pun dimana-mana di sekitar kampus. Pihak ketiga ini adalah provider terkemuka di Indonesia. Mereka membuat infrastruktur yang baik dan memadai. Sehingga akses internet bukan lagi menjadi masalah. Mahasiswa dan dosen pun bisa mengakses internet dimana saja dan kapan saja. Sayang seribu sayang, akses ini mewajibkan kita membayar. Intinya, jika ingin mengakses internet cepat, kita wajib potong jumlah pulsa. Mulai dari dari Rp. 2.000/jam sampai Rp. 5.000/hari. Dan saya akui, bandwidth mereka besar dan lancar. Namun apakah mahasiswa dan dosen harus membayar lebih untuk hal ini. Saat pihak kampus tidak menyediakan akses yang memadai. Kini malah ditangani pihak ketiga. Yang notabene mencari uang dengan mengkomersialisasi akses internet yang menjadi kebutuhan. Wajar? Cukup wajar saya kira. Karena melihat pangsa pasar mahasiswa kampus kami yang cukup besar. Dimana pada hari efektif, Senin-Jumat ribuan mahasiswa mondar-mandir untuk kuliah. Dan banyak dari mereka membawa laptop atau smartphone. Sebuah pasar yang menggiurkan jika saya menjadi provider. [caption id="" align="aligncenter" width="288" caption="(Screenshot Jaringan WiFi Sekitar Kampus, Tidak Ada WiFi Kampus? - screenshot dok.pri)"][/caption] Namun, hal ini menjadi liar dan tidak wajar jika pihak kampus mematikan akses WiFI mereka. Artinya, saat prioritas mahasiswa utama adalah akses WiFi kampus sendiri digantikan sewenang-wenang oleh pihak ketiga. Dulu, ada akses Hotspot di beberapa titik di kampus kami. Mahasiswa dan dosen cukup mengetik username (kode di kartu ujian) dan NIM dan NIK untuk dosen. Sekarang, yang saya rasakan akses dari kampus hilang, atau sengaja dihilangkan? WiFi pihak ketiga kini benar-benar menggantikan akses yang seharusnya diberikan mahasiswa. Mahasiswa dan dosen tidak diberikan pilihan lain selain akses WiFi pihak ketiga. [caption id="" align="aligncenter" width="459" caption="(Akses WiFi Yang Kian Terbatas - screenshot dok.pri)"][/caption] Pada screenshot diatas, saya coba buktikan. Bahwasanya, akses WiFi pihak kampus sendiri minim. Dan dibeberapa tempat yang dulunya mahasiswa dapat gratis mengakses internet, kini tergantikan WiFi pihak ketiga. Tidak ada lagi halaman muka server kampus untuk diisi NIM dan kode username. Yang ada adalah jaringan yang kuat dan tiba-tiba terkoneksi sendiri. Lalu mahasiswa dan dosen ditodong dengan meminta bayaran untuk akses menurut kuota atau time-based. Rekan dosen pernah sekali mengakses WiFi pihak ketiga ini untuk satu jam seharga Rp. 2.000. Namun, baru 30 menit WiFi tidak lagi diakses? Kepada siapa rekan siapa mengadu. Unit IT kampus pun saya fikir tidak berwenang dalam hal ini. Solusinya? Saya fikir, permasalahan ini mungkin terjadi di kampus lain. Tentu harus ada koordinasi antar civitas akademik di kampus. Dalam hal penyediaan akses dan bandwidth internet yang baik, semata-mata bukan kepentingan beberapa orang. Mencari untung saya fikir fine-fine saja. Namun, dengan cara yang cenderung culas juga tidak baik. Meniadakan akses internet dari kampus sendiri, adalah cara yang tidak etis. WiFi pihak ketiga memang seharusnya ada di tempat umum atau publik. Dimana orang yang memiliki kepentingan akses internet bisa mengakses. Merekapun bisa dan mau membayar untuk hal ini. Membebankan mahasiswa dengan memotong pulsa tentunya bukan cara yang bijak. Untuk dosen juga tidak sreg. Masa dosen yang mengabdi di kampus sendiri juga terkena charge atas akses internet yang sejatinya fasilitas penyokong e-learning. Menurut pengalaman rekan saya, aksesnya pun tidak terlalu baik. Salam, Solo, 02 Desember 2014 08:45 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun