Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tergerusnya Makna Hardiknas 2 Mei, Ini Penyebabnya!

1 Mei 2014   15:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: anotherframeofme.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(foto: anotherframeofme.blogspot.com)"][/caption]

"Ing ngarso sug tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani"

Di depan memberi contoh, ditengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

Sebuah semboyan falsafah dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah semboyan yang diaturkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (KHD). Seorang pioneer pendidikan di Indonesia. Kiprah dan kontribusi beliau, menjadikannya selalu dikenang dengan memperingati hari lahirnya sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tepat pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya, diperingati secara nasional sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sebuah hari untuk berterima kasih dan mengenang jasa-jasa para pahlawan tanpa tanda jasa. Guru dan kontribusinya dalam pendidikan generasi bangsa ini.

KHD yang lahir 2 Mei 1889 di Yogyakarta memiliki nama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Soewardi, sebagai seorang putra keraton menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa). Kemudian melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera). Dan kiprah KHD awal malah bukan pada pendidikan, namun pada dunia jurnalisme. Beberapa surat kabar seperti Sediotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Moeda, Tjahja Timoer, dan Poesara. Dan sejak menjadi wartawan pula Soewardi menggeluiti dunia aktivis melawan kolonialisme Belanda. Ia bBerperan aktif di seksi Propaganda organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908. Perlawanan Soewardi menjadi intens dengan mencoba membangkitkan kesadaran masyarakat pribumi agar bersatu. Ditambah, keterlibatannya dalam lembaga multietnik yang difalsafahi dogma negara merdeka, Insulinde, membuatnya dekat dengan Ernest Douwes Dekker. Seorang yang semakin menyadarkannya untuk memandang Indonesia sebagai negara merdeka. Dengan tulisan Als ik een Nederlander was (Seandainya aku seorang Belanda) di harian De Expres pimpinan Douwes Dekker, membuat geram pejabat Belanda waktu. Soewardi, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker (Tiga Serangkai) pun akhirnya ditangkap. Mereka bertiga pun akhirnya diasingkan ke negri Belanda pada tahun 1913. Dan pada saat pengasingannya inilah, Soewardi banyak memfokuskan diri pada dunia pendidikan. Cita-citanya adalah setiap penduduk pribumi mendapat pendidikan layak. Setelah belajar dan mendapat Europeesche Akte (ijazah) ia bercita-cita mendirikan lembaga pendidikan saat ia kembali ke Indonesia. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1919, ia turut mengajar pada sekolah binaan saudaranya. Lalu tepat pada 3 Juli 1922 ia mendirikan sendiri Nationaal Instituut Tamansiswa (Taman Siswa). Di sekolah ini, penanaman rasa cinta bangsa dan pemahaman kemerdekaan sangat ditekankan. Dan tepat setelah usia 40 tahun, Soewardi mengganti nama kecilnya menjadi Ki Hadjar Dewantara. (1) Tidak hanya saat kolonialisme Belanda, keperdulian KHD pada dunia pendidikan berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Berdampingan dengan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan K.H Mas Mansur, Empat Serangkai ini didaulat Jepang memimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) pada tahun 1943. Tujuan Putera adalah menghidupkan kembali aspirasi bangsa dan membantu Jepang dalam Perang Asia Pasifik (2). Namun, pemboman Hiroshima menyisakan getir untuk pendudukan Jepang di Indonesia. Sehingga tujuan membantu Jepang tidak terpenuhi. Atas kiprah dan keperdulian KHD pada dunia pendidikan nasional, ia menjabat Mentri Pengajaran Indonesia dalam kabinet pertama NKRI. Lalu Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957 menganugrahi KHD Doctor Honoris Causa (Dr.H.C). Dan pada usia 69 tahun, tepat pada 26 April 1959 beliau wafat dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata, Yogyakarta. Dan atas Surat Kepres RI No. 305 Tahun 1959, Tanggal 28 November, hari kelahiran KHD diperingati sebagai Hardiknas, setiap 2 Mei. Aura May Day, Menutupi Aura Hardiknas May Day, atau hari dimana para buruh memperingatinya sebagai sebuah perlawanan dan kemenangan atas hak azasi mereka. Gerakan yang dimulai oleh gerakan demonstrasi menuntut 8 hari kerja di Amerika Serikat pada awal abad ke-19 ini, menjadi ujung tombak perlawanan kaum buruh. Pengesahan kebijakan 8 jam kerja ini pun ditetapkan oleh American Federation of Labor (gabungan dari Federation of Organized Trade dan Labor Unions of The United States). Penetapan itu menyatakan:

Resolved by the Federation of Organized Trades and Labor Unions the United States and Canada, that eight hours shall constitute legal day's labor from May First, 1886, and that we recommend to labor organizations throughout their jurisdiction that they so direct their laws as to conform to this resolution by the time named. (3)

Dan sejak saat itulah perjuangan tanpa lelah dan henti memperjuangkan hidup 'layak' ala buruh terus disuarakan. Dengan penetapan 8 jam kerja mulai tanggal 1 Mei 1886, maka setiap tahunnya 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia. Terutama, setelah gerakan ini didorong oleh faham Karl Marx. Dan kemudian ditetapkan kembali secara internasional pada Kongres Paris pada 14 Juli 1889 sekaligus memperingati 100 tahun jatuhnya penjara Bastille. Keputusan itu berisi:

The Congress decides to organize a great international demonstration, so that in all countries and in all cities on one appointed day the toiling masses shall demand of the state authorities the legal reduction of the working day to eight hours, as well as the carrying out of other decisions of the Paris Congress. Since a similar demonstration has already been decided upon for May 1, 1890, by the American Federation of Labor at its Convention in St. Louis, December, 1888, this day is accepted for the international demonstration. The workers of the various countries must organize this demonstration according to conditions prevailing in each country. (3)

Demonstrasi ribuan buruh dan konvoi mengular memenuhi jalan protokol pun umum dijumpai setiap 1 Mei. Tidak hanya di negara lain, di Indonesia pun terjadi. Para serikat buruh dari berbagai daerah siap dan sigap memperjuangkan 'conditions prevailing in each country' (kondisi yang sedang diperjuangkan di negara masing-masing). Dan dalam konteks buruh Indonesia, memperjuangkan 'hidup layak' dan penghapusan outsourcing akan terus digemakan. Dan setelah semua problema itu beakhir, mungkin ada lagi yang akan diperjuangkan. Mungkin saja? Dan sejak saat itu, lebih dari 80 negara di dunia menetapkan hari buruh atau May Day atau Labor Day sebagai hari libur nasional. Walau dibeberapa negara seperti Finlandia, tanggal 1 Mei memang diperingati sebagai awal musim semi (4). Indonesia pun tidak ingin ketinggalan (latahnya) dalam memperingati May Day. Setelah Kepres RI. No. 24 Tahun 2013 tentang Penetapan Tanggal 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional muncul, auranya menutupi Hardikanas pada 2 Mei setelahnya. (5) Seolah kiasan, produk lokal dikalahkan produk impor, Hardiknas 2 Mei kalah pamor dengan May Day. Media senang dan getol meliputnya. Dunia sosmed akan penuh dengan tagar #MayDay. Demonstrasi besar-besaran dan mungkin berujung ricuh adalah isi breaking news tiap saluran televisi. Bentrok buruh dan aparat adalah sensasi tersendiri untuk reportase di lapangan. Bad news is good news. Media menyediakan dan mengolah sensasi May Day. Pemirsa menikmati dan kenyang. Tanpa sadar dan lupa hari berikutnya adalah Hardiknas. Hari peringatan yang lebih lama dan bermakna bagi negri sendiri. Hari dimana pendidikan nasional harus bersama direnungi dan disoroti. Apakah ada kemajuan yang dirasa? Atau malah kemunduran yang ada? Falsafah dalam semboyan buatan Ki Hadjar Dewantara yang sepatutnya terus digali dan dibahas di ruang kelas. Memaknai pendidikan nasional, sebagai pendidikan untuk, dari, dan oleh bangsa sendiri. Bukan namanya saja pendidikan nasional, namun kemasannya filosofi dan metode barat. Istilah rigid dan rigor dunia Barat dalam pendidikan tidak bisa semena-mena diterapkan disini. May Day pun seolah memupuk subur 'ke-internasionalan' bangsa sendiri. Peringatan 1 Mei pun lebih diutamakan libur. Dimana para buruh seharusnya bisa bersama dengan keluarganya, kini malah turun ke jalan. Segala tuntutan seolah tidak habis. Yang satu sudah dipuaskan, muncul saja hal yang ingin dipuaskan. Seolah-olah hidup buruh tidak pernah merasa layak, bahkan cukup. Hari May Day rasa internasional pun dijadikan hari libur nasional. Sedang satu hari setelahnya serasa hambar. Karena gegap gempita dan sensasi demonstrasi masih menghiasi fikir masyarakat. Lupa akan Hardiknas negri sendiri Sistem Amburadul Pendidikan Meredupkan Hardiknas Kalau May Day lebih sebagai hal yang meredupkan secara eksternal. Secara internal pendidikan negri ini pun seakan meredupkan makna Hardiknas itu sendiri. Sistem pendidikan yang seolah bongkar pasang sesuka Mentri pada jamannya, menjadikan pendidikan mlempen. Pendidikan yang seharusnya memperkuat rasa nasionalisme sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti terberangus ulah oknum penentu kebijakan itu sendiri. Pendidikan yang sejatinya fondasi generasi dan falsafah membangun bangsa, pelik ditumpangi kepentingan. Saya sebagai generasi yang hidup pada dua jaman, peruntuhan Orba dan pra-Reformasi melihat karut marut pendidikan Indonesia dimulai paska 1998. Saya sempat mengalami masa-mas ujian EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) dengan hasil berupa NEM (Nilai Ebtanas Murni). Namun walau dapat NEM tinggi, tidak bisa ditentukan lulus jika ulangan harian rendah atau buruk (6). Pada masa ini, guru dan sekolah masih dianggap sebagai subjek. Dan bukan sebagai objek seperti saat UN, karena keputusan lulus ditentukan UN. Karut marut dan semua kekurangan sistem dalam UN sebenarnya sudah banyak sekali saya bahas. Silahkan kunjungi artikel-artikel saya berikut ini; 1) Dilema UN, Kepsek Pun Membocorkan Kunci Jawaban UN ; 2) Akal-Akalan Konvensi UN ala Kemendikbud ; 3) 80% Hasil Konvensi Ujian Nasional Hanya Soal Duit) Ditambah lagi, nama Kemendiknas yang diubah menjadi Kemendikbud pada kisaran tahun 2011, luput dari makna Budaya yang disematkan. Hal ini sesuai Perpres No. 77 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kemendiknas Menjadi Kemendikbud. Dengan alasan efisiensi dan efektifitas kementrian negara sesuai UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara Pasal 18 ayat 1 (6). Namun sisi Kebudayaan toh sampai saat ini hambar terasa. Apa sih yang ditonjolkan dalam perangkat pendidikan negara ini? Kurikulum pun didasarkan pada referensi asing. Semua ahli seolah 'mengimpor' semua pemahaman Barat pada pendidikan Indonesia. Anak didik di Barat, dengan budaya tempat mereka tumbuh, tentunya berbeda dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam. Terutama budaya ke-Timuran yang menjadi ciri khas budaya Indonesia. Contohnya saja, dalam Kurikulum 2013 tertera agar perserta didik mampun bertanya. Saya yakin, tidak semua siswa mau dan mampu bertanya. Namun referensi asing dalam Kurikulum 2013 seolah dipaksakan diaplikasikan ke dalam kurikulum kita. Pendidikan akan menyertakan dalam dirinya, budaya tempat pendidikan tersebut diterapkan. Namun yang terjadi di Indonesia, referensi asing ala impor para ahli seolah diiyakan untuk diterapkan. Nilai kearifan  lokal (local wisdom) sejauh yang saya tahu tidak mengena dalam Kurikulum 2013. Yang ada adalah cara menerapkan kearifan lokal itu sendiri, bukan contoh dan perilaku yang ada. Guru yang ada sudah sibuk dengan adminstrasi dan beban mengajar mereka. Banyak guru yang berlaku kasar (abusing) siswanya, bahkan sampai kepada tindak asusila (sexual harassment). Apa dan siapa yang bisa menjadi contoh siswa dalam kearifan lokal. Sedang orangtua sekarang pun sibuk berkutat dengan pekerjaan dan uang. Dan hal-hal diatas semakin membuat a-priori bahkan menyangsikan pendidikan Indonesia. Dan Hardikanas menjadi sekadar formalitas hari saja. Atau sekadar ucapan dalam tweet para guru, atau status 'pengingat' semata di BBM. Makna dan ruh pendidikan 'nasional' sendiri sekan hilang dan lesap. Hal ini yang membuat orang menyangsikan kemajuan pendidikan. Faktanya kita pun keok untuk dapat sekadar bersaing dengan negara ASEAN menyoal pendidikan. Saatnya Bercermin Dengan Cermin Negri Sendiri Hardiknas sebagai momen memperjuangkan ruh semangat pendidikan nasional yang sudah mulai redup tertutupi hal-hal berbau hal impor, harus kembali digugah. Kembali kepada cita-cita awal Ki Hadjar Dewantara untuk mencerdaskan kaum pribumi. Menggugah rasa cinta kepada tanah air. Dan terutama menyadari bahwa kemerdekaan dengan jalan pendidikan adalah jalan utama mencapai kemerdekaan asasi. Semua referensi dan hal impor adalah hal yang patut menjadi contoh, bukan tuntunan. Adaptasi terhadap kearifan negri sendiri harus ditonjolkan. Pendidikan haruslah meng-Indonesiakan orang Indonesia. Tidak sekadar menghafalkann lagu wajib Nasional dan Pancasila. Namun jauh daripada itu semua, menjadikan pendidikan nasional dapat menjadi tuntunan semua kompenen yang membangun pendidikan itu sendiri. Dan guru sebagai soko guru pendidikan harus mau dan mampu menjadi contoh kearifan bangsa sendiri dalam pendidikan. Salam, Solo 01 Mei 2014 08:47 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun