Menengok jauh ke jaman industri musik negri sendiri di awal tahun 2000an, bis dikatakan masih memiliki 'soul' atau kualitas musikalitas. Band-band seperti Padi dan Coklat, kehadiran albumnya selalu ditunggu-tunggu. Dulu ketika saya SMA pun, Padi masih menjadi band rock alternative yang merajai kancah musik negri. Dengan aransemen yang 'catchy' dan baru membawa warna dan corak baru. Walau dalam hal musik indie, band-band seperti Pupen sudah dulu mewarnai musik alternative rock, namun tidak semua orang tahu. Band Coklat yang dulu digawangi Kikan pun menjadi idola sempurna anak muda dengan angan-angan mewarnai corak musik negri sendiri. [caption id="" align="aligncenter" width="353" caption="doc: dhieserene.files.wordpress.com"][/caption] Pada tahun 2005, band anak muda asal Lampung Kangen Band muncul ke menjadi band major label. Band yang dulu digawangi Andika mendobrak sekaligus mewarnai dunia musik negri sendiri. Menurut saya, memang mewarnai dengan gaya musik yang absurd. Lirik yang cenderung picisan dan aransemen yang biasa dibawakan anak-anak SMA yang baru belajar nge-band menjadi trend. Dengan musikalitas yang 'easy-listening' dan 'merakyat' menunjukkan pola yang terlalu sederhana. Mulai disinilah awal mula genre musik 'alay' di dunia musik negri sendiri. Bagai jamur yang tumbuh dengan subur di musim hujan, band-band lain yang beraliran 'serupa' mulai muncul. Mulai dari Radja sampai dengan D'Bagindas yang membawakan lirik-lirik murahan bertema cinta dan patah hati merajai dunia musik negri sendiri. Dengan aransemen yang cenderung meracuni telingan saat mendengar pertama kali, membuat lagu-lagu dari band genre musik 'alay' ini mudah diingat. Apalagi dengan makin maraknya download lagu bajakan gratis lewat website, lagu-lagu band ini mudah sekali ditemui dimana-mana. Ditambah lagi, dengan kian usangnya kaset yang digantikan perangkat keras pemutar MP3 yang lebih murah dan compatible dibawa-bawa, mendukung 'penyebaran' musik alay ini. Tak ayal booming musik alay ini berlanjut sampai sekitar tahun 2010-an. Bahkan banyak dari band-band pengusung genre musik alay ini yang survive. Walau dengan personil asal comot saja yang penting eksis membuat televisi dengan acara musiknya, seperti Dahsyat dan Inbox terlalu sering menampilkan mereka. Dengan pola repetisi dan penonton bayaran yang seakan-akan menjadi 'fans' band-band ini membuat anak-anak muda 'terjangkit' pola ketenaran dengan cara singkat seperti ini. Mungkin sudah tidak terdengar lagi band-band yang menjadi one-hit-wonder seperti Merpati Band, Shaden, Salju, Tahta, Hijau Daun, dll. Walau secara perjuangan patut memang dihargai band-band ini, namun pola conveyor-belt industri musik menghancurkan mereka. Saat berjaya, mereka akan dipuja dan diekspose besar-besaran dari Record Label mereka. Namun, apa daya karena conveyor-belt ini terus berputar dan diisi wajah-wajah baru industri musik negri sendiri, banyak yang remuk. Seiring waktu pun band-band bergenre 'alay' ini pun mulai terhempas kuatnya K-Pop dan grup musik barat. Sedikit demi sedikit band genre 'alay' ini mulai redup dan berganti dengan dangdut koplo berlirik mesum dan norak. Solo, 4 Oktober 2013 10:05 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H