Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Menatap Dan Berucap Selamat Tinggal

31 Maret 2014   05:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: chfi.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="447" caption="(ilustrasi: chfi.com)"][/caption] Ada banyak sekali memori yang terpatri di tembok-tembok rumah ini. Segala senyum, marah, tawa dan duka seolah memendar kembali ke hadapan. Menyunggingkan aura kerinduan untuk bertemu kembali. Hijaunya si tembok sekitar kamar. Atau biru lautnya si ruang tamu. Seolah berupaya membisikkan pesan selama tinggal yang dalam. Segala kesan dan keterikatan emosi yang dalam akan semua ruang di rumah ini, seperti bergema. Menggetarkan hati. Mengusik sedikit titik rasa penat di ulu hati. Rasa yang memula titisan air mata. Sedikit demi sedikit, barang-barang yang ada mulai dikemas. Semua barang yang telah dengan baik terlindung dari panas dan hujan. Saya kira, barang-barang ini pun bersedih. Sekalipun teriring rasa terima kasih atas semua limpahan kekuatan rumah dalam melindungi mereka. Barang-barang kecil dan besar serupa hendak menyampaikan rasa sedihnya meninggalkan ruang-ruang dalam rumah ini. Jauh dalam penatnya manusia merasa dan melihat dunia ini. Barang-barang ini, menyimpan semua energi kebaikan rumah yang hendak mereka tinggalkan ini. Manusia hanya terkesan dalam segala nuansa pertemuan. Kemudian untuk bersedih sedu sedan saat berpisah. Tapi rumah ini seolah merasakan tiap hari dan momen manusia yang meninggalinya. Ia meresap dan menyimpan denga sangat tidak terbatas. Semua kenangan, masa dan gelapnya angan fikir manusia. Karena ia tahu saat saya sedih dan merasa sedu di pojok ruang itu. Saat air mata orang-orang tersayang saya, pecah di balik pintu di ruang dalam rumah ini. Rumah ini hanya menyerap dan mencoba menceritkan kembali masa-masa terlewat. Masa yang mungkin, sedikit manusia bisa ingat. Terutama saat ia hendak meninggalkannya. Tembok penuh coretan crayon ini muncul dengan kesedihannya. Tembok yang sejak awal anak dapat memegang sebuah crayon, dicoret-coret sesuka imajinasi mereka. Seolah muncul kembali ke memori saya yang menatapnya. Entah sudah berapa tahun lalu coretan crayon itu ada disana. Sebagai saksi bisu, betapa putri saya sudah tumbuh besar sekarang. Betapa tembok penuh coretan ini memendarkan kembali semua proses anak saya tumbuh. Mulai dari coretan crayon sampai tumpahan air susu yang mulai menoda kecoklatan, kini mengusik hati ini. Betapa rumah ini seolah menyimpan semua yang ada di antara pertemuan dan perpisahan. Memori dan masa yang muncul dan mengusik jauh mulanya titikan air mata dari hanya sekadar matinya si tembok rumah. Betapa tiap jengkal rumah ini akan menyimpann rahasia memori dan masa yang manusia turut di dalamnya, namun lupa untuk mengingatnya. Seperti hendak bercerita, tembok ini hanya menambah betapa berat hati meninggalkan rumah ini. Rumah yang penuh memori dan masa yang menemani dan melindungi keluarga kami. Berpisah adalah sebuah takdir. Dan momen berpisah bagi saya serupa mem-flashback semua momen yang tertulis sunyi di tiap sudut rumah ini. Goodbye good house. Thank you for all. ;-( Salam, Solo 30 Maret 2014 10:44 pm

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun