[caption id="" align="aligncenter" width="499" caption="(ilustrasi: fineartamerica.com)"][/caption] Betapa awal tahun 2014 ini diawali dengan kenaikan gas Elpiji yang membuat ibu rumah tangga berteriak ngilu. Belum lagi rencana Tarif Dasar Listrik yang naik untuk kalangan pengusaha, tentunya berimbas pada konsumen. Dan kita, adalah konsumennya. Belum lagi dolar yang entah sampai kapan membumbung terus. Sampai saat ini saja sudah hampir menyentuh Rp14.000. Itu baru dari sisi ekonomi saja. Â Belum pada sisi keamanan. Bahaya laten komunis yang sudah dibredel di Tangerang Selatan baru saja, menggambarkan betapa lemahnya intelejen kita. Bibit terorisme itu terus tumbuh dan secara inklendestin merasuk ke dalam pikir yang resah. Galau terhadap hidup dan keyakinan mereka yang semakin 'terancam'. Pihak berwajib pun telah banyak menembak teroris yang ada. Namun bagai kiasan, mati satu tumbuh seribu. Teroris itu seperti memiliki 'franchise' sendiri. Pada sisi kepemimpinan pula, pimpinan negara kita seumpama penguasa absolut. Betapa orang tidak jiper jika ada dalam komennya dianggap fitnah. Lalu turun somasi dan para pengacara yang siap memperadilkan para 'pemfitnah' ini. Bagaimana labilnya jiwa sosial yang sejatinya mendekat pada rakyat. Sekarang bak kangkangan tiran dunia maya. Malah ada kabar, pemimpin kita menebar cyber army guna menelisik semua bully dan fitnah yang ada. Betapa teror inklandestin itu nyata ditampakkan pemimpin negara ini. Hukum yang lagi-lagi seperti tajam ke bawah tumpul ke atas. Hukum menjadi lobi-lobi dan permainan pejabat dan orang berduit. Kalau ada duit di tengah sengketa, semua bisa aman. Hakim tertinggi dalam Mahkamah Konsitusi pun bisa tersuap. Apalagi yang di bawahnya. Miris dan sedih. Luka dan trauma hukum timpang itu kian menganga dalam pikir rakyat. Kalau bisa terimaji, menghadap meja hijau serupa koma buat rakyat. Tapi pingsan untuk petinggi dan empunya uang. [caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="(ilustrasi: skwesme.com)"]
[/caption] Pikir dan impian orang Indonesia di tanahnya sendiri serasa diteror secara halus oleh pemerintah. Mereka semena-mena dan berlagak semua baik-baik saja. Dengan lagak birokratif dan protokoler, mereka menyampaikan bahwa yang menyebabkan mahalnya harga adalah pasar. Apakah kita negara yang dibentuk oleh pasar? Atau negara yang membentuk pasar itu sendiri? Sejauh pemahaman orang awam seperti saya, pasarlah yang dibentuk oleh negara. Negara yang memiliki uang, lalu membeli bahan pangan untuk dapat dibarter (uang atau barang) di pasar. Dan sejak saat itulah ekonomi terbentuk. Anggaran pemerintah setiap tahun APBN harus berputar di pasar. Bukan pasar yang meminta. Namun pemerintahlah yang wajib membeli. Betapa subsidi yang ada hanyalah peneduh sesaat pikir yang kian tertekan. Negara yang penuh sumber daya alam malah menjadi impoten sumber daya alam. Negara yang melimpah hasil pangan, malah lemah dan lesu bercocok tanam. Tambang dikangkangi asing. Pemerintah menebar teror klandestin itu dengan pembiaran dan pembodohan. Petani dibiarkan bodoh. Sedang para sarjana, doktor pertanian letih memperjuangkan sumbangsih mereka untuk dunia pertanian. Negara agraris yang dibiarkan runtuh oleh pemerintahnya sendiri. Khayal swasembada itu seperti hanya wacana. Pemerintah dan pejabat yang mengurusi negara ini, mengurus negara untuk diri, keluarga dan sanak kerabat mereka sendiri. Betapa proyek-proyek yang ada hanyala reka-reka memperkaya kerabat dan handai taulan dekat lingkar kekusaan. Dinasti korupsi sudah menjadi mahfum. Rakyat hanyalah ribuan anak tangga pada eskalator mencapai pucuk kekuasaan. Teror ini adalah bentuk iklandestin pembodohan dan produk serbainstan pendidikan. Departemen dan para amtenar pendidikan hanya sibuk membuat proyek. Mempersulit birokrasi dan administrasi adalah tugas utama mereka. Ruh pendidikan yang sejatinya meningkatkan kualitas manusia hanyalah slogan semata. Pendidikan karakter yang masih mentah, semena-mena diaplikasikan di institusi pendidikan. Sehingga produk pendidikan instan yang hambar karakter dan profesionalitas muncul. Dan anmesia akut bidang pendidikan terus terulang. Kurikulum saling silih berganti mengisi. Pemerintah mengiming-imingi perbaikan dan harapan pada kurikulum baru. Tapi lupa evaluasi yang seharusnya ada pada kurikulum terdahulu. Apa yang salah harusnya diperbaiki. Bukan malah mengganti total pijakan dengan mengganti kurikulum. Jadinya, pembelajar hanyalah kelinci coba-coba penggede yang katanya ahli bidang pendidikan. Setiap tahun terulang. Setiap kurikulum berakhir dengan amnesia akut. Alih-alih ganti saja semuanya. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(ilustrasi: ratinallibertariancorner.com)"]
(ilustrasi: ratinallibertariancorner.com)
[/caption] Semua sisi kehidupan dasar suatu negara seperti menjadi lahan teror inklandestin pemerintah. Kebijakan dan semua perundangan adalah cara mereka meneror. Mereka meneror bukan dengan kekerasan. Namun lebih kalndestin, rahasia atau halus. Dengan membentuk opini bahwa semuanya baik-baik saja. Dengan beragam dalih retoris dan birokratif. Mencari kambing hitam adalah jalan keluar. Lalu buat apa dipilih pemimpin, jika si kambing hitam tidak bisa dijinakkan? Teror ini tidak memakan korban jiwa. Namun mempersembahkan jiwa-jiwa untuk hidup selalu di atas omong kosog retorika pemimpin negeri. Kita harus mengiyakan. Dan dengan halus mempertahankan opini, bahwa mereka presiden dan kabinetnya adalah orang-orang pintar Orang-orang terpilih yang mampu mensejahterakan negri. Dan itu yang dicitrakan.
Salam,
Solo, 03 Januari 2014 11:38 amBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya