Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Parpol, Caleg dan Kitsch; Sebuah Pandangan Postmodernisme

20 Maret 2014   18:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Baliho Caleg Partai Nasdem, Sarwoto Atmosutarno & Joko Widodo; foto: solopos.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="(Baliho Caleg Partai Nasdem, Sarwoto Atmosutarno & Joko Widodo; foto: solopos.com)"][/caption]

"Kitsch mimics its immediate predecessor with no regard to ethics- it aims to copy the beautiful, not the good" - Hermann Broch

Caleg, parpol dan karya murahan seni dalam postmodernisme, kitsch akan coba saya analogikan. Berangkat dari karakteristik sederhana kitsch, yaitu sebuah karya yang sekadar meniru/mengkopi/memimik para pendahulunya, tanpa ada unsur etis dan hanya untuk keindahannya semata, bukan manfaatnya. Karakteristik yang saya kira bisa mewakili sebuah pemahaman subliminal seorang citra atau imaji Caleg, bahkan parpol. Sebuah permainan tanda-petanda yang memasuki ranah fun (sia-sia belaka). Caleg, pada esensinya seorang yang berharap mendapat 'jatah' berkuasa dengan jalan merengkuh hati pemilih atau konstituennya. Beragam cara dan upaya yang dilakukan para Caleg. Dan terkait kitsch ini, imaji Caleg menjadi murahan. Dimana biasanya, Caleg akan mencoba menyandingkan dirinya (baik di baliho sepanjang jalan atau saat kampanye di panggung) dengan seorang yang bercitra besar. Misalkan, banyak Caleg yang memampang wajahnya (sambil senyum) dengan Jokowi atau Surya Paloh. Caleg yang berasal dari kedua sosok besar tadi wajar jika mengikutkan sosok penggede-nya. Namun akan menjadi kitsch, atau reproduksi murahan suatu citra jika Caleg lain, bahkan dari partai lain menyandingkan sosok besar dari partai lain. Misalnya Caleg partai Nasdem menyandingkan wajahnya dengan sosok Jokowi. Terlihat secara permainan tanda-petanda belaka, sosok Caleg yang coba 'direproduksi' dengan sesuaatu yang memang secara esensi sudah bernilai. Yaitu sosok Jokowi. Sosok Caleg yang ada hanya memainkan citra Jokowi dengan tanpa menampilkan diri menjadi suatu imaji yang beretika. Orang yang memandang, memahami secara awam foto baliho sang Caleg Nasdem numpang keren dengan menyandingkan foto Jokowi. Publik tahu pasti, kalau Jokowi bukan berasal dari partai Nasdem. Namun yang hendak disampaikan sang Caleg adalah segi keindahan suatu sosok. Mau tidak mau, ada citra sang Caleg yang secara subliminal nyangkut dalam fikiran publik yang sempat melihat foto baliho sang Caleg. Imaji yang tertaut dalam fikir publik adalah involuntary (tidak secara sadar). Serupa sebuah iklan, imaji yang sempat terekam menjadi sebuah drive (dorongan) subliminal untuk memilih sang Caleg. Sesuatu yang mendatangkan kebaikan (goodness) dari imaji seorang Jokowi, dihinggapi parasit murahan seorang Caleg yang bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang. Caleg ini seperti parasit dalam inang imaji seorang Jokowi. Sebuah estetika yang sejatinya nampak pada seorang calon wakil rakyat hanya menjadi imaji murahan. Sebuah pola kitsch yang coba disajikan seorang Caleg dalam mematri imajinya dalam fikir para pemilih atau konsituennya. Memetik pemahaman Jean Baudrillard terhadap kitsch bahwa "Objek sebuah kitsch umumnya dapat dipahami sebagai kumpulan dari barang-barang murahan,.." (Baudrillard: 1998) Simpulan, bahwa kitsch dan Caleg adalah sebuah imaji yang terbayang-bayang para penggede partainya, dengan pola murahan nebeng citra besar mereka. Ini pun menjadi sebuah pola umum, bahkan dalam sebuah dinasti partai politik. Lihat saja PDI-P yang selalu menempelkan jati dirinya pada sang Proklamator Ir. Soekarno. Atau bahkan, parpol kontemporer seperti partai Demokrat dengan nama besar sang Presiden R.I Susilo Bambang Yudhoyono. Pola yang terbilang basi dalam sebuah pola pemerintahan berbasis parpol sintetis. Partai politik Indonesia, memang lebih berunsur kepentingan sebuah partai semata. Parpol bernafas golongan, seperti buruh, sayap kiri atau oposisi. Bisa dikatakan parpol saat ini, samar-samar memiliki unsur yang mewakili sebuah fundamen negara. Parpol nasionalis, agamis, Pancasilais yang selama ini menjadi gembar-gembor ideologi mereka, hanya sekadar unsur pragmatis. Semua samar, dan pasar parpol di Indonesia yang menentukan. Unsur sintetis parpol di Indonesia ini, yang pada akhirnya menjadikan sosok sebagai tumpuan dasar. Walau kadar idiologis sang pelopor partai setengah hati diterapkan, fokus utama parpol adalah imaji sang penggede. Kitsch-lah yang akhirnya coba direproduksi parpol di Indonesia. Sebuah pola murahan menyandingkan imaji anggota parpol dengan sang penggede yang memang memiliki andil dan kuasa. Sebuah reproduksi kitsch yang menjadi pola umum survival sebuah partai dengan para Calegnya. Dan ini terulang, seperti sebuah lingkaran yang terus menerus berputar. Referensi: Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures. London: Sage, 1998.seperti dikutip dari purdue.edu Broch, Hermann (2002). "Evil in the Value System of Art". Geist and Zeitgeist: The Spirit in an Unspiritual Age" seperti dikutip dari wikipedia.org Tulisan berikutnya dengan tema ini: Caleg, Nebeng Imaji Tokoh Sebagai Parasit Salam, Solo, 20 Maret 2014 11:20 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun