Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkinkah Penulis di Kompasiana Dibungkam?

21 Juni 2016   12:54 Diperbarui: 21 Juni 2016   13:09 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata Adalah Senjata - ilustrasi: nyoemhokgie.wordpress.com

Jika kata adalah senjata, maka artikel kita di Kompasiana bisa jadi apa saja. Mulai dari gudang senjata sampai terbitan pribadi semata, artikel kita bermetamorfosis sesuai keinginan pribadi. Lihat dan baca saja dentuman artikel menohok menyoal Ahok, Sumber Waras dan Pilkadanya disini. Tiap artikel berisi ranjau yang sengaja ditaruh penulisnya. Penuh dengan todongan senjata berupa fakta dan katanya sumber ini-itu. 

Namun tengok pula tulisan berisi dan inspiratif banyak penulis disini. Pengalaman hidup serta life-hacks untuk menjalani lika-likunya. Artikel ini sejatinya juga bermanfaat. Atau prosa dan puisi yang penuh imaji dan mengundang kagum pembacanya. Tulisan ini pun menjadi manuskrip untuk menjangkau khalayak ramai diluar sana. Hebat.

Kata yang kita buat disini seolah sudah ditatah. Tiap spasinya menjembatani tata bahasa dan kosa kata dengan makna yang hendak disampaikan. Jika mulut dapat berucap seketika. Maka kata yang tertulis diintisari dari logika, estetika dan khasanah ilmu yang dimiliki. Tidak heran tiap kata yang hendak ditulis bisa terhenti. Kadang berhenti dengan begitu lama, kadang sejenak. Tak lain agar makna yang tersampaikan tidak ambigu. Atau malah makna yang ditangkap pembaca nylekit ke hati. 

Percayalah, nuansa makna dengan jangkauan pemahaman pembaca berbeda. Ada yang menganggap kritik sebagai pupuknya hati. Namun ada pula yang merasakannya sebagai racun diri. Tak ayal pula, setiap penulis ingin mengkritik fenomena. Ada yang begitu frontal membumbui tulisan dengan kata yang sarkastik. Penulis menyodorkan sebongkah granat di piring saji. Namun ada juga yang memilih karya satire dengan pisau yang tersembunyi di balik sepotong roti.

Siapa sih yang suka dirisak kehidupannya atau disangsikan atribut yang melekat pada seseorang? Apalagi dengan tulisan. Lisan akan mengendap di hati. Namun tulisan menjadi pusara. Setiap orang yang tahu atau tidak mau tahu bisa membaca pusara. Pusara yang bisa dimaknai dua. Pusara sebagai monumen kematian dan kejatuhan diri. Pusara yang begitu angker dan klenik, pamalih untuk dilihat. Atau pusara sebagai monumen yang masih hidup untuk terus memaknai hidup.

Apakah kita memenjarakan diri dengan artikel kita? Atau kita dipenjara dengan artikel kita? 

Kita sengaja menulis dengan mengetahui segala konsekuensinya. Kita menyerahkan diri dengan sukarela pada akibat yang mungkin timbul. Menulis kebenaran yang kita lihat sendiri. Lalu pihak yang tercatut nama di dalam tulisan kita menuntut kita. Namun, kadang artikel kita menimbulkan akibat yang tidak terduga. Ada pihak yang sengaja mencari cela untuk menangkap dan memenjarakan kita. Ada saja cara dan pengistilahan untuk membungkam penulis. Percayalah hal ini ada.

Lalu apakah kita sebagai penulis di Kompasiana terbungkam? Tergantung. Jika penulis bayaran dengan masa kontraknya habis. Diam menjadi kewajiban. Karena ia tahu pasti, percuma menulis lagi tanpa nominal bertambah di nomor rekening. Namun jika memang penulis benar dan tahu pasti ia menulis untuk apa dan siapa, menulis jalan terus. Karena ia tahu dan faham menulis adalah personal escape. Saat ada hal yang tidak tersampaikan dengan jalan yang begitu rumit, menulis menjadi senjatanya. Senjatanya untuk membungkam keburukan demi kebaikan bersama. 

Ah, semuanya akan tetap kembali siapa yang membacanya. Kata dan rangkaian makna yang begitu pragmatis mengundang lipatan cela makna di fikiran pembaca. Tetaplah menulis di Kompasiana atau di media apapun. Biar manuskrip ini menjadi pusara. Begitu angker namun sarat dengan makna.

Salam,

Solo, 21 Juni

12:53 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun