[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="(ilustrasi: jasonwttw.com)"][/caption] Sudah hampir hari H mahasiswa saya akan mengumpulkan tugas karya tulisnya. Banyak yang protes karena karya tulis mereka tidak masuk kriteria. Ya, kriteria yang saya buat untuk karya tulis yang boleh dikumpulkan sebagai pengganti ujian aksir semester (UAS). Dan hampir 50% dari mahasiswa semester 4, tidak bisa mengumpulkan. Karena mereka ada yang tidak sama sekali berkonsultasi karya tulisnya, bahkan tidak meng-email materi karya tulisnya sendiri. Data dan kriteria saya jabarkan di papan pengumuman. Ada yang nrimo, ada pula yang protes. Saya sambut baik dengan tentunya menjabarkan apa saja yang kurang. Intinya, banyak mahasiswa yang menyepelekan kuliahnya sendiri. Fenomena ini, telah saya amati sejak awal saya mengajar. Dahulu saya anggap mahasiswa menyepelekan saya karena saya dosen muda dan amatir. Namun, dari banyak curhat kolega dosen yang lebih senior, fenomena menyepelekan ini mereka pun sering temui. Mulai dari sekadar presentasi materi di kelas sampai menyusun tugas, banyak sekali yang menyepelekan. Tidak sekadar cuek atau tidak perduli dengan tugas. Modus lain mahasiswa menyepelekan kuliahnya sendiri juga tercermin dari modus search+copas+print. Baik itu dalam tugas sampai dengan penyusunan skripsi mereka. (Baca tulisan saya: Sampai Lulus, Mahasiswa Hanya Butuh Google ) Setelah saya amati, ada beberapa alasan kenapa fenomena menyepelekan ini terjadi. Dan mungkin ini tidak berbasis penelitian seperti pemahaman tingkat motivasi belajar atau variabel lain dalam diri mahasiswa. Pengamatan ini cukup sederhana dan saya kira bisa menjadi cermin. 1. Menyepelekan karena salah ambil jurusan Saya pernah bertanya iseng pada mahasiswa semester awal. Siapa yang merasa salah jurusan? Mungkin 80% dari mereka yang setuju. Mulai dari alasan daripada tidak kuliah. Ada pun yang beralasan jurusan ini keren. Atau yang paling 'miris' menurut saya, karena dipaksa orangtua mereka. Alhasil, setengah hati (atau bahkan tanpa hati) mahasiswa ini menjalani kuliahnya. Ilmu yang difahami dikelas seumpama, masuk kuping kanan, keluar kuping kanan lagi. Istilah orang Jawa, mentul (berbalik) kembali. 2. Menyepelekan karena dosennya Adapun pengamatan yang saya simpulkan, kalau mahasiswa menyepelekan karena dosennya tidak enak mengajarnya. Dosen jenis ini bukan untuk dihindari. Tapi fahami apa maunya dan protes jika keinginan sang dosen tidak konsisten. Banyak mahasiswa yang sekadar bilang tidak enak, lalu menjadi 'parasit' dalam fikiran mereka. Parasit ini menyebarkan rasa malas dan menyepelekan materi kuliah. Ujung-ujungnya, menjalani makul dosen ini pokoknya ikut teman yang lain. Mengekor dan pokoknya bisa lulus sudah syukur. Menyepelakan bukan cuma pada dosen yang tidak enak mengajarnya. Mahasiswa kadang sering pula menyepelekan dosen yang malah enak dan dekat dengan mahasiswa. Ini terjadi pada saya dan kolega saya. Merasa dekat dan kenal dengan dosen, mereka merasa mampu mencari celah untuk mendapat nilai bagus. Maaf maaf saya bilang, dosen gaul dan cool pun melihat secara objektif. Prioritas mereka tentunya penilaian akademik. Sedekat apapun seorang mahasiswa dengan dosen, sedikit berpengaruh pada penilaian akademis. 3. Menyepelekan karena materinya Nah, kalau sudah berbicara materi kuliah, banyak mahasiswa yang pusing memahaminya. Jatuhnya, mereka malas berfikir mendalam atas satu bahasan. Menyepelekan pun terjadi dengan modus search+copas+print apapun yang ada di internet. Apalagi jika sudah menginjak semester 5 ke atas. Mata kuliah konten akan selalu bertemu. Adapaun beberapa mahasiswa berstatus mahasisa yang mencoba meraih peruntungannya. Mencoba mendapat nilai bagus dengan cara merevisi makul. Ada yang cuma sekali mengulang, ada pun yang beberapa kali. (Baca artikel saya: Jangan Sampai Mahasiswa Menjadi Mahasisa) 4. Menyepelakan karena waktu yang cukup lama Nah ini juga yang mengundang keprihatinan saya. Banyak mahasiswa menyepelakan suatu tugas karena waktu pengumpulannya masih lama. Mahasiswa menganggap dalam rentang waktu 2 bulan bisa menyelesaikan karya tulis mereka. Faktanya, hampir 50% tidak bisa mengumpulkan. Karena hanya beberapa kali konsultasi dan korespondensi email. Kecewa dan protes pun menghinggapi. Serasa tidak bersalah dan beribu alasan diutarakan. Namun fakta dan data saya catat. Mereka pun diam seribu bahasa. Alhasil, nilai jeblok semester ini. Atau menyusun presentasi kelompok untuk pertemuan minggu depan. Biasanya mahasiswa mengerjakannya satu malam sebelumnya. Saat presentasi kebanyakan membaca. Ketika ada temannya yang bertanya, saling lempar tanggung jawab. Saya tanya kenapa presentasinya jelek, mereka pun mengaku baru mengerjakannya tadi malam. Padahal penunjukkan kelompok presentasi ini sudah minggu lalu. Nilai apa adanya pun saya berikan. 5. Menyepelekan karena tidak haus akan ilmu Mungkin pengamatan ini agak sedikit abstrak. Tetapi yang saya fahami, banyak mahasiswa yang tidak sama sekali haus akan ilmu. Jauh saat saya melihat mata mereka, seolah tidak ada niat kuat menuntut ilmu. Yang saya lihat dalam mata mereka adalah beban. Menuntut ilmu serupa beban dalam hidup mereka. Di kelas, banyak yang hampa pandangannya pada materi. Tidak ada api yang hendak membakar ilmu sampai menjadi abu. Semangat untuk memahami ilmu yang mereka pilih. Dan tentunya bekal mereka hidup setelah lulus. Sepertinya, mahasiswa ini lelah secara kognitif. Sisi kognisi mereka sudah cukup lelah menghafal, memahami, mengurai, menghitung semua mata pelajaran dari mulai TK sampai dengan SMA. Sudah terlalu lelah berfikir dan meredupkan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu yang anak seorang anak kecil punyai saat mereka mulai mengenal dunianya. Dimulai dengan pertanyaan 'Apa ini?' sampai 'Mengapa ini...?' hilang dari jiwa mereka. 12 tahun sekolah dasar dan menengah plus 4-5 tahun dibangku kuliah, berapa persen pelajaran yang sebenarnya 'nyangkut'? Mungkin tidak lebih dari 10%? Pada akhirnya, individu yang menghormati ilmu dan haus akan ilmu tidak akan menyepelekan. Ilmu yang ada di dunia ini pasti ada guna dan manfaatnya, bahkan ilmu hitam sekalipun. Memahami ilmu tidak harus pada seorang doktor atau profesor. Bahkan pada pengemis dan tukang becak pun, bisa dipelajari ilmu yang mereka fahami. Dan, waktu akan terus berjalan. Menunda dan menunda adalah gejala menyepelakan. Semakin sering menunda, maka sudah akut pula sindrom menyepelekan. Salam, Solo 02 Juli 2014 10:23 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H