[caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="(ilustrasi: crunchpost.com)"][/caption] Pemerintahan Jokow-JK sudah mulai kerja. Publik pun berharap banyak. Jajaran mentri menyiratkan energi positif. Redup pula, saat menyoroti mentri yang merokok sembarangan. Apalagi mentri ini seorang perempuan. Dengan cuek dan apa adanya, ia merokok seolah halaman istana negara adalah pelataran rumahnya. Karuan saja, banyak bully dan rasa ragu untuk mentri perempuan ini. Kicuan dan berita yang cenderung berat sebelah pun bertebaran. Mulai dari menyoroti ibu mentri ini sebagai lulusan SMP. Ada pula yang nyinyir mengaitkan suami si mentri perempuan ini dengan teori ala Konspirasi asing. Semuanya digoreng sampai renyah dan gurih. Apalagi, ketika dibumbui residu paska Pilpres 2014 lalu. Residu ini adalah sisa-sisa gesekan beda Capres saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Residu ini mengendap dalam tiap hati kita. Residu ini adalah hasil gontok-gontokan saat Debat Capres dahulu. Residu ini pula tersedimentasi dan mengeras pada tiap hati pendukung pro salah satu Capres. Remah-remah yang inklandestin yang secara tidak sadar akan muncul dan kembali memenuhi hati dan fikiran. Jika ada hal yang menyulut residu ini. Entah itu kebencian atau rasa cinta, residu ini cenderung berlebihan. Ia muncul akibat rasa benci atas Capres lawan dan rasa cinta berlebih pada Capres jagoannya. Seperti ujung korek api belerang yang merah-mengeras. Ia akan sangat mudah tersulut terbakar pada lapisan yang mudah terbakar. Ada ungkapan 'Noh..presiden pilihan lho ga tegas!', atau 'Tuh liat, koalisi Capres kalah bertingkah lagi?' atau 'Yaah, masa mentri ga lulus SMP dipilih??' dan beragam lainnya. Muncul sebagai perwujudan residu oposisi biner Pilpres lalu. Walau dua kubu Capres sudah terlihat rukun dan saling menghormati. Walau ternyata sandiwara parlemen hanyalah slapstick agar terlihat kerja semata. Saya, Anda, kami dan kita belum bisa menerima hal ini. Residu-residu benci dan cinta berlebih pada Capres jagoan, masih hinggap terendap dalam hati dan fikiran. Pandangan kritis yang kami buat pun, serupa pandangan pro pada salah satu Capres jagoan, dulu ketika Pilpres. Sulitnya move-on dari gempita persaingan Pilpres 2014 lalu. Sulit melepaskan imaji betapa hebat dan bangganya kita mendukung salah satu Capres jagoan. Betapa gaya pidato, IQ-nya yang tinggi, ketegasan dan bahkan kekayaan yang dimiliki salah satu Capres, membuat hati haqul yaqin ialah Capres sejati. Seorang yang benar-benar siap untuk menjadi Presiden. Betapa pula, sosok Capres lainnya begitu sederhana, merakyat dan apa-adanya. Ia memesona hati kita, sehingga semua tuduhan miring padanya, mati-matian kita bela. Sosok yang selalu menjadi target fitnah dan bully. Dan fikiran untuk terus membelanya, terus hinggap di hati kita semua. Seolah, sampai saat ini tetap ada jauh dalam benak tidak sadar kita, dua kubu berseteru. Dua kubu yang masing-masing dibela koalisi plus pendukungnya yang sama-sama banyak. Saat satu melakukan manuver, maka pihak berlawanan akan selalu mengamati dengan pandangan sinis. Walau tidak kita nampakkan. Debar dan nafas yang berhembus, seolah mengisyaratkan kita harus berhati-hati pada koalisi ini. Lalu, koalisi yang satu pasti akan selalu dianggap penderita. Sehingga, masih siap dan rela orang-orang yang mendukungnya dulu membela. Seiring nafas terhela. Seiring jantung berdetak. Residu Pilpres ini seolah bergesek dan terus bergerak dalam hati dan fikiran. Entah sampai kapan? Mungkin pula residu ini kembali menguasai diri di Pemiu 2019 nanti. Entahlah? Salam, Solo, 29 Oktober 2014 09:55 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H