Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggenggam Abu Kelud, Merasakan Pesannya

15 Februari 2014   03:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: ahandfulofdust.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="491" caption="(ilustrasi: ahandfulofdust.com)"][/caption] Andai debu Kelud ini bisa merasakan... Betapa sesaknya iringan debu seiring dentuman bertubi-tubi gunung maha tinggi, Kelud. Merasakan dengan pasti, setiap desakan dan gesekan dari ratusan juta kubik material vulkanik. Mereka saling tindih, saling pacu, dan saling menderu menuju keluar. Memacu seiring dentuman lava dan magma serta maha hebatnya semburan isi perut bumi. Lalu membuncah, memuntah dan bertaburan tinggi ke angkasa. Melayang, merasakan angin dingin panasnya dunia diluar rahim sang Kelud. Merasakan betapa luas dunia ciptaan seiring semburat angin menerpa terjang melanglang sang langit. Menuju arah angin membawa abu. Menerbangkan mereka, ratusan kilometer dari tempat mereka dieram sang Kelud. Menuju tempat yang sama sekali mereka tidak tahu. Semua abu ini menyimpan selintas pesan. Andai debu Kelud ini bisa melihat... Betapa kuatnya semburan perut bumi membuncahkan mereka ke langit. Dalam gelapnya perut sang Kelud mereka tinggal lama dan bersama. Kini harus pergi keluar perut eraman rahim sang Kelud. Memandang benderang langit penuh kilat. Melihat kilatan pertir yang mengiringi mereka berhamburan memenuhi langit. Memandangi gelap langit malam Kediri. Untuk kemudian jatuh entah di mana. Memandangi hamparan luas ratusan kilometer jauhnya. Melihat dengan seksama, betap luas dan indah dunia. Betapa pagi yang setiap pagi mereka dengar dari cerita mahluk luar gunung, benar-benarlah indah. Betapa mudah diri mereka melayang dan memandangi angin yang membawa mereka. Mereka berduka dan bercita mengiringi kepergian jauh. Pergi untuk tidak kembali. Pergi dengan membawa selintas pesan. Andai debu Kelud ini bisa mendengar... Betapa dentuman yang membawa mereka keluar rahim sang Kelud, sangatlah dahsyat. Betapa desakan dan gesekan ratusan juta materi isi rahim sang Kelud ingin segera keluar. Ingin segera menyambut dan mendengar betapa ramainya riuh rendah dunia diluar sana. Betapa dentuman ini akan memekakkan telinga. Karena dentuman ini pula yang membuat mereka melayang keluar 10 km jauhnya ke angkasa. Mereka pun mendengar petir dahsyat seiring mereka meninggalkan rahim sang Kelud. Mendengar tiupan angin dari timur yang segera membawa mereka seiring menuju tempat yang jauh disana. Seiring tiupan dan hembusan sang angin, mereka mendengar kicau burung yang enggan melenggang dari sarangnya. Melihat keatas, jika langit dipenuhi sang debu Kelud. Beriring dengan angin, debu Kelud ini seakan mendengar pula derita para manusia. Seiring mereka jatuh dan terhempas tangan manusia. Mereka memendarkan selintas pesan. Selintas pesan itu... Pesan yang cukup sederhana, namun sedikit manusia yang mau memahaminya. Memahami dengan sedikit merenungkan rasa dan karsa. Sedikit menilik jauh ke dalam diri. Sedikit merasa dengan simpuhan rasa berserah. Bahwa, manusia haruslah kembali. Kembali melihat betapa kuasa Sang Pencipta lewat sang Kelud amatlah nyata. Betapa jutaan kubik abu yang ringan dan sepele ini mampu Ia kirim ke hadapan kita. Jauh ratusan kilometer dari tempatnya, abu ini tidak semata melayang bak tanpa daya dan upaya. Ia akan turun di tempat yang sudah digariskan-Nya. Jatuh tepat di depan mata manusia agar manusia mau dan mampu kembali ingat kepada sang Pencipta. Bahwa bencana bukan semata bencana. Ia adalah teguran sekaligus pengingat, betapa manusia tiada daya atas kuasa-Nya. Betapa jutaan abu yang melayang memendungkan langit saja, sudah mampu menciutkan manusia. Tuhan sejatinya menegur dengan sang abu Kelud. Merasakah, melihatkah atau mendengarkah kita? Saat manusia menegur sesamanya, ia dapat menjauh. Namun saat Tuhan menegur manusia, ia haruslah mendekat kepada-Nya. Salam, Solo, 14 Februari 2014 08:19 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun