Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengajar Itu Menghibur Diri Sendiri

5 Agustus 2016   12:42 Diperbarui: 5 Agustus 2016   13:33 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teacher's Life - ilustrasi: deseretnews.com

Judul di atas adalah sebuah kalimat dari seorang dosen yang kini melekat dalam fikiran saya. 'Teaching is about entertaining yourself'. Kalimat yang ketika saya refleksikan ke pengalaman saya mengajar tentu menjadi ironis. Sebuah cambukan sekaligus penggugah bagi kebanyakan guru. Apakah saya sudah senang mengajar? Apakah mengajar sendiri memberikan sebuah kesenangan untuk saya?

Lalu fikiran saya pun terkenang ucapan dosen pembimbing saya dulu. Menjadi guru itu seperti menjadi seorang artis. Kamu diperhatikan oleh murid-muridmu. Dan nampaknya ucapan ini pun bisa dikaitkan dengan ucapan di atas. Ketika menjadi seorang artis, maka ia memerankan suatu yang ia senangi. Tidak ada orang yang tidak suka peran orang berbahagia. Begitupu guru. Melihat guru berbahagia menjadi sebuah motivasi belajar tersendiri bagi siswanya.

Guru bukan sekadar profesi yang mentransfer ilmu. Guru menjadi motivator untuk siswanya. Tidak pernah saya tahu motivator yang bermuram durja wajahnya. Begitu pula siswa tidak senang akan melihat guru yang mukanya dilipat selalu. Bukannya ia tidak memiliki kemampuan pedagogis yang baik. Namun banyak hal yang membuat seorang guru datang dengan berat hati menuju sekolah.

Tentu kita tahu lagu Oemar Bakrie yang dilantunkan Iwan Fals. Sebuah gambaran betapa lucu sekaligus ngenes kehidupan guru. Dengan tas hitam dari kulit buaya Oemar Bakti ia berangkat tiap pagi dengan sepeda ontelnya. Walau dengan gaji yang terus dikebiri, ia mengabdi sudah mengabdi 40 tahun lamanya. Gambaran distopia nasib seorang guru yang kiranya masih belum berubah banyak sampai saat ini.

Guru datang dengan keluh kesahnya yang masih di sekitar pemenuhan kebutuhan hidup. Lalu mencoba tersenyum di depan siswanya. Bahasa tubuh tidak pernah bisa membohongi mata yang melihat. Ada kejujuran yang terungkap jika ada ketidaknyamanan dalam menekuni profesi. Bukan karena seorang guru tidak mampu mengajar. Namun lebih kepada karena realitas hidup memaksanya untuk tidak tenang.

Lalu masih adakah guru yang memang terpanggil dan menikmati profesinya. Saya percaya masih ada dan masih banyak. Guru yang rela berjalan puluhan kilometer ke sekolah demi mengajar masih mungkin ada di pelosok. Orang-orang yang perduli dengan pendidikan, walau tanpa embel-embel seorang guru juga masih ada. Mereka rela mengajar anak-anak di kolong jembatan, lorong-lorong sempit daerah kumuh kota. Jiwa mereka memang seorang guru. Terlepas realitas pahit kehidupan guru pada umumnya.

Lalu sudahkah saya, atau rekan seprofesi guru senang akan mengajar? Saya sendiri merasa terhibur saat siswa mampu bertanya tanpa harus diminta. Atau saat mereka mampu bereksplorasi dengan kretifitas dalam belajarnya. Sekecil apapun itu, itulah hiburan tersendiri untuk seorang guru. Rasa bahagia dalam mengajar kiranya muncul karena diri sudah berkontribusi untuk sesama. Tak ada yang lebih membanggakan melihat seorang siswa lebih sukses dari gurunya.

Salam,

Wollongong, 5 Agustus 2016

03:42 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun