[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="(ilustrasi: mix97-3.com)"][/caption] Mempercayakan tanggung jawab melaksanakan suatu tugas atau program adalah kewajiban seorang bawahan. Pemahaman sederhananya, dipercayai menjalankan suatu tugas atau program adalah suatu bentuk ikatan saling percaya. Bahwasanya, atasan percaya kita bertanggung jawab atas tugas yang diberi. Dan sebagai bawahan yang diberikan tugas, tentunya tidak ingin mengecewakan atasan. Apalagi ketika tugas atau program tersebut menyangkut orang banyak. Seperti mengadakan seminar, yang tentunya tidak ingin mengecewakan peserta seminar. Bentuk resiprokal ini bukan sekadar axioma ABS (Asal Bapak Senang) semata. Tetapi bentuk menjalin ikatan organisasional yang memang dijalankan dalam sistem organisasi superordinatif. Garis koordinasi ke bawahan adalah suatu bentuk mata rantai pembangun organisasi. Semua akan merasakan manfaat mutualisme. Dimana atasan bisa percaya atas tanggung jawab yang dijawantahkan. Dan bawahan akan merasa diperhatikan atasan. Dan bentuk lain mengasah pengalaman kerja. Pepatah Jawa yang sesuai dengan sifat superordinatif adalah "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani." Di depan menjadi contoh, di tengah membimbing, di belakang mendukung. Namun, yang dirasakan kadang berbeda dengan pemahaman diatas. Mempercayakan tanggung jawab dari atasan, serupa lari dari tanggung jawab. Tanggung jawab yang dijawantahkan malah serupa beban yang mendera. Atasan mencoba memberikan beban yang kadang melebihi kapasitas bawahan dalam melaksanakannya. Atasan serupa ingin dengan segera menyelesaikan tugas atau program ini itu. Namun dengan koordinasi dan supervisi yang minim. Atasan hanya memerintah ini dan itu, kemudian bawahan bingung memahami apa ini dan itu. Atasan hanya suka omong dikerjakan tugas atau program ini. Tanpa sempat melongok atau menengok proses yang terjadi. Entah karena sibuk atau memang tidak perduli. Atasan hanya tahu beres dan datang pada saat pelaksanaan, seminar misalnya. Saat sang bawahan kocar-kacir kesana kemari mengkoordinasi semua pihak, atasan hanya diam. Atasan memang tidak serupa bos yang tegas dan memerintah dengan tangan besi. Namun lebih cenderung cuek. Tugas koordinasi hanya sebatas perintah melaksanakan tugas ini dan itu. Dan tugas supervisi atau esensi  ' ..ing madya mangun karsa..' ditengah membimbing, seperti nihil. Atasan seperti memandang bawahan bisa semua. Bawahan adalah individu yang cekatan dan terampil. Percaya sepenuhnya bukan berarti tidak perduli sama sekali. Melaksanakan tugsa memang memiliki kendala dan hambatan. Yang kadang hanya atasan yang bisa mengatasi. Seperti menghubungi pembicara seminar secara institusional, nampaknya akan lebih layak dan patut jika atasan mau mensupervisi. Otoritas dalam korespondensi akan lebih laik jika atasan bisa mewakili organisasi. Jawaban dan keputusan segera, perlu persetujuan atasan. Inti dari kesan atasan yang seperti lari dari tanggung jawab ini adalah komunikasi yang kurang. Akan disanksikan jika bawahan menolak atau mengkritisi atas tanggung jawab yang diberikan atasan. Bawahan memang berhak menolak, namun ke depannya dampak secara hirarki organisasi untuk bawahan bisa negatif. Bawahan dianggap tidak kapabel atau lemah. Bawahan tentunya tidak ingin cap demikian. Walau kadang bawahan bisa saja berfikir, 'Kenapa bukan bapak/ibu saja yang melaksanakan tugas/program ini?' Tentunya, ini hanya dipendam jauh dilubuk perasaan. Memang maksud dan kesan atas tanggung jawab yang diberikan, hanya bisa diterka positif oleh bawahan. Yaitu ini semua demi kepentingan baik organisasi. Namun kesan yang timbul jika komunikasi dari atasan minim, bawahan akan merasa bingung dan akhirnya bersyak wasangka tidak baik. Atasan hanya ngebosi tanpa mau tahu proses yang terjadi. Bukan berarti atasan ini pimpinan yang kurang baik. Namun kurang peka terhadap kondisi yang terjadi. Atasan tidak selalu berada didepan memimpin. Ia juga harus dibelakang mendorong. Atasan tidak hanya terkesan ekslusif, datang saat acara berlangsung. Atasan semestinya berbaur dan terlibat dalam prosesnya. Atasan tidak harus selalu tahu beres Atasan seharusnya tahu apa yang kurang beres. Salam, Solo. 20 Februari 2014 11:50 pm
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI