Tidak sedikit orang malas membaca textbook. Bahasa yang cenderung rigid, sistematis dan teoritis membuat sulit memahaminya. Ada beragam bab dengan topik sub-topik, dan pecahan kategori dan sub-kategori lainnya. Andai bisa memamah buku teks pelajaran senikmat mambaca novel, tugas meresume tidak akan sulit.
Dan saya pun yakin, banyak orang lebih kesengsem membaca novel. Dengan bahasa yang dinamis, estetik dan imajinatif novel menjadi bacaan favorit. Dengan alur cerita, sudut pandang, tokoh, setting dan konflik yang ada, ada saja orang yang betah membaca novel sekali duduk. Banyak kisah novel pun menjadi film layar lebar. Dan sejauh pengetahuan saya, belum pernah saya menyaksikan buku teks kuliah diangkat menjadi film.
Saya sendiri memang menikmati membaca novel daripada textbook. Namun bukan berarti saya tidak membaca textbook sama sekali. Satu dua kali ketika membahas topik dalam kuliah yang rada sulit, textbook tentu menjadi referensi. Dan untuk saat ini sampai beberapa tahun ke depan, buku teks kuliah akan harus saya sering baca. Hal ini menjadi konsekuensi melanjutkan studi saya tentunya.
Konsekuensinya pula, saat ini saya membaca textbook harus senyaman membaca novel. Jika tidak nyaman, sulit rasanya menyerap apa isi sebuah konsep dan metode yang dijabarkan.
Saat saya masih ingat karakter Maman Gendeng di novel Eka Kurniawan Cantik Itu Luka (CIL). Saya pun harus memperlakukan konsep dalam textbook demikian; diingat, dimaknai dan direalisasikan.
Contohnya karakter Maman Gendeng di novel CIL. Ia adalah pendekar yang urakan, bengis, sakti sekaligus gentleman. Ia tidak pernah memperlakukan perempuan serampangan. Karakter ini saya ingat. Manusia seperti Maman Gendeng selayaknya bisa ‘seimbang’ hidupnya. Karakter ini saya maknai. Bisa saja ada saja karakter Maman Gendeng ini dunia nyata, tidak di novel belaka. Karakter ini saya realisasikan.
Begitupun dengan konsep/metode/analisa suatu textbook sepatutnya bisa diingat, dimaknai dan direalisasikan. Karena membaca adalah medium dasar untuk mengingat. Untuk kemudian dimaknai sesuai ranah ilmu yang dibidangi. Untuk kemudian direalisasikan hal-hal tadi di dunia nyata. Sehingga, ilmu yang difahami menjadi sempurna.
Langkah mengingat, memaknai dan merealisasi merupakan aktifitas overt (nyata) dari menganalogikan membaca novel dan textbook. Namun esensi covert (tersembunyi) dari rasa nyaman sejatinya adalah interest atau ketertarikan. Ketertarikan menjadi pembulat langkah-langkah diatas. Baik membaca novel atau textbook, tanpa ada rasa ketertarikan agak mustahil langkah overt bisa digali.
Dan entah mengapa, interest atau ketertarikan ini sejatinya muncul saat curiosity atau rasa penasaran sudah terkristalisasi. Seperti balita yang baru bisa berjalan. Ia akan senang sekali berjalan sampai orangtuanya kadang lelah mengikuti. Karena rasa penasaran untuk berjalan sudah mengkristal dalam diri bayi. Tak heran ia akan senang sekali berjalan.
Lama kelamaan curiosity banyak luntur seiring anak dewasa. Orang dewasa akan cenderung membungkam anak saat anak bertanya ini-itu. Anak kehilangan interest akan dunianya. Karena dunia orang dewasa sudah membosankan. Bukan berarti dunia anak juga ditularkan kebosanan akan dunia orang dewasa yang jenuh dan monoton.
Konsekuensinya, banyak anak yang hilang ketertarikan untuk belajar. Textbook menjadi mimpi buruk di sekolah. Ditambah saat kuliah, textbook akan setebal bantal. Semakin hilang hasrat untuk sekadar membukanya. Budaya copas teman tak heran menjadi pemenuh tugas.