[caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="(ilustrasi: readwrite.com)"][/caption] Teruntuk Camaba (Calon Mahasiswa Baru), tulisan ini saya tujukan. Para siswa SMA/K dan sederajat yang telah lulus dan hendak melanjutkan jenjang perkuliahan. Status siswa yang dulu disandang dari mulai SD, SMP, sampai SMA akan lesap. Status kalian nanti adalah mahasiswa. Ada kata lekatan 'maha'. Maha yang berarti tinggi, agung, dan superior. Kalian adalah seorang mahasiswa yang berpredikat diatas siswa. Karena kalian adalah raja diraja siswa. Keunggulan secara akademis maupun personal kalian harus tunjukkan dan kembangkan. Menjadi mahasiswa berarti menjadi seorang pelajar mandiri. Seorang yang haus dan perduli pada bidan ilmu yang telah ia pilih. Entah itu arsitektur, sosial politik, matematika, psikologi, dan beratus bidang ilmu lainnya, ilmu yang dipilih menjadi tangguan jawab kalian. Memahami ilmu jangan pernah dari satu sumber. Dosen kalian nanti adalah serupa jembatan. Ia sekadar memeberikan jalan dan membimbing kalian ke ilmu yang kalian suka. Selebihnya, kalianlah yang memahami dan menguasai jalan menuju kesempurnaan ilmu itu. Sulit dan susah dalam menjalaninya, sudah pasti, tapi dosen selalu akan ada menemani. Tapi apa yang terjadi... Banyak dari mahasiswa yang saya tahu masih menyandang predikat masihsiswa. Dua kata yang seharus maha+siswa, kini umumnya bergelar masih+siswa. Seorang yang masihsiswa akan shock dan tegang akan suasan akademik di kampus. Menyadari diri mereka ada di kampus, tidak mengubah mereka untuk menjadi seorang mahasiswa. Mereka masih terhanyut dan asyik dengan status siswa mereka. Mereka seumpama siswa di kampus dengan hanya tidak menggunakan seragamnya. Belajarnya mereka maunya disuapi dan mengekor. Stimulan atau rangsangan dari dosen yang ada dijadikan acuan belajar. Mereka merasa cukup dengan apa yang mereka dapat. Lalu shock dan terkejut dengan tugas dan ujian yang dianggap tidak sama dengan apa yang dipelajari di kelas. Dosen mereka salahkan, namun sungkan karena tidak tahu apa yang mereka persalahkan. Lalu, hal ini terulang dan diulang di semester-semester berikutnya. Tanpa mau meninggalkan cara belajar mengandalkan apa yang disuapi dosennya di kelas. Dalam belajar pun mereka mengekor teman-teman kuliahnya. Yang terjadi, jika satu teman sudah mengerjakan maka yang lainnya cukup mengkopi dan menyamakan. Cukup diganti nama dan nomor mahasiswa, lalu diserahkan. Presentasi mereka di kelas pun sekadar membaca apa yang ada dalam slide. Tanpa mau susah aktualisasi diri atas kemampuan akademis yang mereka punya. Sedihnya, mencontek pun masih mereka anut selama ujian. Tanpa rasa malu dan sungkan dengan kata 'maha' dalam mahasiswa. Tidak percaya diri dan malas, menjadikan sifat mengekor subur dalam batin mereka. Percayalah... Bahwasanya, predikat masihsiswa itu bisa kalian tinggalkan. Cukup setelah ijazah SMA didapat. Move on, ke predikat mahasiswa. Seorang yang sejatinya sanggup dan mampu menjadi pelajar unggul dengan ke-maha-annya. Seorang yang mampu mengaktualisasi diri dan percaya atas kemampuan diri sendiri. Egoislah dalam hal berilmu, namun berbaiklah dalam hal memahamkannya. Di kampus, kalian adalah bertindak sebagai individu. Bukan kelompok dengan teman. Nilai bukan berasal dari dosen. Dosen hanya sekadar menuliskannya di transkrip. Memantaskan diri untuk mendapat nilai A, itu lebih baik. Daripada sekadar menganggap diri pantas dapat A. Dalam falsafah Jawa, Kudu biso rumongso, dudu rumongso biso (Harus bisa refleksi diri, bukan merasa sekadar bisa). Pilihan berada kalian, individu dewasa yang bisa berfikir dan memilih dengan bijak. Maukah predikat masihsiswa itu melekat saat menjadi mahasiswa? Yang serupa dari saya:
Salam, Solo 18 Juni 2014 12:30 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H