Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Lari, Berlarilah!

10 Mei 2014   06:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: alisanagnostakis.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="(ilustrasi: alisanagnostakis.com)"][/caption] Lampu lalulintas masih memendarkan lampu merah. Banyak kendaraan berhenti dan nampak sabar menunggu. Wajah-wajah mendongak ke atas. Beberapa tengok kanan-kiri mencari lampu lalulintas di sudut jalan yang masih berwarna merah. Beberapa wajah gelisah nampak seolah menggunjing merah si lampu. Beberapa nampak tenang dan sesekali menengok kanan-kiri. Seolah orang-orang ini memiliki waktu yang sangat luang. Dan beberapa wajah nampak tidak sabar. Seolah membenci lampu merah. Tengok kanan-kiri, tancap gas. Lampu merah diterobos dan tanpa sungkan melaju cepat. Cepat menjauh dan menghindari kemungkinan polisi yang akan mungkin mengejar. Walau tidak ada satu pun polisi. Lari menjauhkan diri dari kesalahan menerobos lampu merah. Lari dari kesalahan. Jiwa-jiwa kerdil yang menyangka bisa lari dari masalah. Walau sejatinya, jiwa-jiwa merekalah yang bersalah. Seolah ingin lari masalah. Tapi mereka tidak bisa berlari dari diri mereka sendiri.

Run from you problems, but you can not run from yourself! (YDG - Of Mice & Men)

Seakan-akan berlari meninggalkan kesalahan menerobos lampu merah menyelesaikan masalah. Terburu waktu dan terpatri nafsu, hanya mengumbar mereka melakukan kesalahan. Terobos lampu merah adalah sebuah kesalahan. Ia adalah sebuah objek. Namun subjek pembuat dosa itu, si jiwa-jiwa kerdil itulah yang penting. Kesalahan tidak menghinggapi fikir seseorang. Namun karena orang itu melakukan kesalahan, sehingga hinggap rasa bersalah. Kesalahan dapat dijauhi. Namun rasa bersalah pembuat salah itu yang sulit. Menjauhi kesalahan adalah bentuk primitif jiwa-jiwa kerdil menebus dosanya. Jauh di dalam diri si pembuat salah, rasa bersalah itu menghantui. Kesalahan yang terjadi di lampu merah itu hilang karena kesalahan tadi tidak ada yang merespon. Polisi yang menjaga lalinn sedang tidak berpatroli. Kesalahan itu tidak diketahui. Ada perasaan seolah kesalahan itu baik-baik saja. Namun jiwa akan terus menggelambir menumpuk rasa bersalah.

Lari berlarilah, umpat kau mengumpat

Dosa kau dustai, ratapi dirimu! (Beside, Dosa Adalah Sahabat)

Saat rasa berdosa itu menggelayuti hati, dustai pun kau lakui. Semua demi mendustai dosa yang dilakukan. Berlari dan terus berlari menjauhi rasa bersalah. Menghapus perilaku menerobos lampu merah dengan terus mengeraskan hati. Menutupi dosa dengan dosa lain. Mendustai kesalahan dengan dusta mengingkari diri sendiri. Menghujam kata hati penerang hati. Semua demi memberi kepuasan atas ratapan berdosa. Ratapan rasa bersalah menerobos lampu merah. Menderu dan terus melaju sekencang-kencangnya dari lampu merah. Secepatnya menjauhi kesalahan. Dengan rasa bersalah yang terus menderu untuk memacu kendaraan. Menjauh dan menjauh dari kesalahan. Mereka mampu berlari dari kesalahan. Tapi tidak mampu berlari dari diri mereka sendiri. (Sebelumnya: Tangan Tuhan di Lampu Merah) Salam, Solo, 09 Mei 2014 23:55 pm

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun