[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="(Miras jenis ciu; foto: JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)"][/caption] Inilah kiranya dilema sosial diterbitkannya Perpres Nomor 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras. Dilema yang timbul adalah, secara maknawi Perpres ini seolah melegalkan miras. Alih alih melarang, memang Perpres ini sekadar mengatur peredaran miras. Sehingga miras, setelah terbitnya Perpres ini akan menjadi barang dalam pengawasan. Berikut petikan dalam Pasal 3 Ayat 3 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tersebut.
"Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya," (referensi: setkab.go.id)
Sehingga, FPI DPW Solo sepertinya sudah gerah dan muak akan peredaran miras, memaksa anggota DPRD Solo untuk meminum ciu. Insiden yang saya kira kurang tepat dan konyol. Insiden pemberian ciu terjadi saat Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FPI Solo, Ustaz Choirul diberikan kesempatan berbicara. Choirul menanyai satu per satu pimpinan dan 3 anggota DPRD apakah Miras berbahaya ataukah tidak. Keempat legislator pun kompak menjawab bahwa Miras berbahaya. Namun, saat ditanya apakah berani melarang Miras dalam Perda, Supriyanto menyatakan tetap harus merujuk Peraturan Presiden (Perpres) No 74 Tahun 2013 yang mengatur peredaran Miras. Geram dengan jawaban Supriyanto, Choirul pun kemudian meminta anggotanya menyuguhkan Miras. Mematuhi perintah Choirul, anggota FPI kemudian membawakan ciu yang sudah disiapkan dan dituangkan ke dalam 3 gelas plastik. FPI meminta Supriyanto untuk meminum ciu tersebut. "Silahkan itu diminum. Kan saudara melegalkan peredaran Miras," ujar Choirul. (berita: timlo.net) Kesalah Fahaman Atau Faham Yang Salah? Jika hendak ditelaah peristiwa yang terjadi dalam audiensi Penolakan Reperda Miras diatas, FPI dan Anggota DPRD sepertinya mensimbolisasi kesalah fahaman. FPI memang mendasarkannya pada kaidah hukum Islam yang melarang meminum khamr. Yang dalam hal ini, minuman memabukkan, yaitu ciu. Ciu atau minuman hasil fermentasi ketela pohon atau singkong yang memiliki efek memabukkan ini juga termasuk khamr. Yaitu haram hukumnya untuk diminum. Ini bukan faham yang salah. Sedang Anggota DPRD Solo sendiri, Supriyanto tetap merujuk pada Perpres No. 74 Tahun 2013. Yaitu pada esensinya tidak melarang. Namu lebih kepada beban administratif mengawasi. Bukan melarang atau bahkan menutup paksa industri miras ciu yang sudah ada. Dan, dalam Perpres ini pun, sudah dijelaskan tentang pengawasan pada miras tradisional serupa ciu ini.
Melalui Perpres ini, Presiden memerintahkan Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan di wilayah kerja masing-masing. (referensi: setkab.go.id)
Anggota DPRD yang ada tidak ada yang melegalkan ciu. Karena melegalkan miras seperti ciu adalah hak BPOM RI atau Disperindag. Sehingga terjadi kesalah fahaman FPI terhadap peraturan pengawasan ciu di daerah. Dan Anggota DPRD Solo tidak menyalahi pemahaman Perpres No. 74 Tahun 2013 yang sudah ada. Karena pihak DPRD hanya mengawasi. Perihal melarang peredarannya, semua termaktub dalam penjelasan dalam laman setkab.go.id. Jadi, kiranya agak konyol jika memaksakann kehendak kepada orang yang sudah faham akan arti minuman haram atau berbahaya seperti ciu ini. FPI dengan diwakili Choiron sepertinya membutuhkan penelaahan yang lebih dalam terhadap Perpres No. 74 Tahun 2013 ini. Bukan sekadar bertindak frontal seperti ini. Seakan akan membela kepentingan umat, namun menolak memahami isi Perpres. Konyol. Akan lebih baik dan bijak, jika FPI bisa mengawal pengawasan peredaran ciu yang ada. Menjalin kerjasama dengan pihak DPRD dan berwajib agar bersama mengatur ciu diminum sebagaimana mestinya. Dengan berdasar Perpres yang ada, malah akan memperkuat dasar hukum aka perederan miras ciu yang sembarangan. Dan bukan sekadar memaksakan kehendak di tempat yang salah dengan kesalah fahaman yang buta. Salam, Solo 15 Februari 2014 12: 14 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H