Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kehadiranmu Memanusiakanku

13 Juli 2013   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:37 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang ayah berjuang menempuh pendidikan lanjut di negri ujung Britania raya. Menggali dan menelisik makna mendidik. Bertanya dan melihat ilmu yang samar -samar terbayang dalam tiap buku teks berbahasa asing. Menkonsolidasi komunikasi ruang kelas dengan logika budaya tanah asal. Mengabstrakkan ilmu dalam terapannya dengan kearifan lokal. Mencari dan mengolah buah ilmu dari penutur asing,agar kelak dinikmati orang-orang di tanah sendiri. Mencencang erat rasa rindu rumah sederhana. Rumah yang ditinggali sebagian jiwa seorang ayah. Jiwa yang menyokong gelora hati sang ayah.

Putri cantik nan anggun, foto yang selalu menjadi gambar diri di dunia maya. Dunia yang diwakili beribu wajah asing. Namun sang ayah selalu memiliki satu wajah. Wajah sang putri. Raut wajah penuh rasa binar ingin tahu. Semburat wajah yang selalu meluluhkan orang dewasa. Wajah seorang anak putri yang menjadi titipan Tuhan. Titipan yang harus dicintai, dirawat dan dididik. Wajah yang selalu dipandangi sebelum tudur menjelang. Dirindu, itu pasti. Ingin segera ayah peluk dan gendong, menjadi obat penenang rindu. Rindu sang ayah yang lebih gelap dari palung laut. Rindu sang ayah yang lebih besar dari pola galaksi Tuhan cipta. Rindu yang selalu menjadi kata hati yang berbisik halus, "Ayah, harus kuat dan bisa."

Dalam tiap doa dan bersimpuh rendah di sajadah usang sang ayah selalu sempatkan berdoa akan selamat. Keselamatan keluarga dan sang belahan jiwa di rumah. Ayah pasti kembali. Kembali berpeluk dan bergurau penuh cinta bersamamu. Kembali ke pelukan hangat dari tatap polos sang putri kecil. Hangat yang jauh lebih memambukkan dari hangatnya selimut. Selimut yang sekadar menghangatkan raga. Raga yang dilingkupi hawa dingin negri orang. Dingin yang terobati selimut. Seraya mengucap syukur atas hangat selimut, sang ayah selalu diselimuti hangat doanya. Doa agar sehat selalu bijsa dilimpahkan oleh Tuhan. Agar kelak, ayah bertemu kembali dengan sang putri dengan raga yang sehat, fikir yang bersuka cita dan perasaan yang akan membuncahkan kasih dan sayang.

Hanya dengan media dunia maya, sang ayah berbicara dengan sang outri. Media yang mendekatkan imaji diri dengan representasi bit demi bit pixel. Milyaran warna yang menyusun raut wajah ceria. Milyaran pixel yang menggerakkan senyum simpul sang putri di layar monitor. Suara sang putri yang diwakili milyaran jumlah data dunia maya. Suara yang kadang tertunda akibat padatnya dunia maya dengan milyaran data yang saling berpapasan. Dunia yang sangat luas secara mistis. Namum sangat sempit secara makna. Apa daya, imaji gambar dan suara sang putri nampak hanya memenuhi kosongnya kehadiran. Kehadiran yang sang ayah selalu impikan. Kehadiran yang nanti menjadi milyaran perasaan hati dengan pixel-pixel kebahagiaan. Kehadiran yang nanti berubah menjadi ribuan data rasa rindu. Kehadiran yang nanti mewakili sang ayah secara makna manusia. Manusia yang ingin bertemu. Karena bertemu dalam kehadiran adalah manusia. Buat temanku, Fitri Kurniawan di Aberdeen, this one is for you.

Solo, 13 Juli 2013

9:26 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun