[caption caption="Quote - ilustrasi: wisdomquotesandstories.com"][/caption]
Lagi-lagi kasus penghinaan di siaran live terjadi. Kini, Zaskia Gotik entah sadar atau tidak menghina simbol-simbol negara. Zaskia menghina hari kemerdekaan menjadi tanggal 32 Agustus. Lebih terenyuhnya lagi, sila ke 5 Pancasila ia sebut bebek nungging. Lucu? Tentu bagi mereka yang tidak berakal sehat. Lucu-lucuan buat Zaskia mungkin terdengar fine-fine saja. Tapi tidak bagi penonton yang kebetulan memiliki logika yang menganggapnya tidak lucu, sama sekali.
Saya sendiri tidak menyaksikan momen Zaskia mengucap pelecehan simbol negara ini. Namun saya yakin di YouTube sudah ada video yang meng-capture momen tersebut. Di acara Dahs**t yang memang mengumbar lucu dan konyol host tamu sudah tidak kentara mana lawak mana konyol-konyolan. Karena toh penonton bayaran disana akan tetap tertawa. Ya karena SOP mereka untuk tertawa. Setidaknya di acara lain mereka akan diundang lagi. Tidak usah banyak mikir. Yang penting ikut floor director atau entah siapapun itu untuk tertawa.
Masih tidak lekang dari ingatan kita kasus melecehkan Cita Citata. Ia secara eksplisit menstigma orang Papua dengan cap yang cenderung rasis. Cita pun dituntut ke jalur hukum. Ia dinilai menciderai orang Papua. Ia dituntut beberapa milyar oleh seorang pengacara. Walau Cita Citata akhirnya meminta maaf kepada orang Papua. Masalah pun tidak lagi nampak di media.
Membaca dua kasus ini, terlihat siratan kesimpulan. Sebuah fenomena keartisan dan kebablasan individu dan media. Dalam hal ini mungkin pedangdut yang tenar dan naik daun. Dalam kasus Cita Citata dan Zaskia Gotik, mereka seolah menyiratkan dua hal tentatif yang serupa.
Pertama, artis dangdut baru over-excited di media besar. Di saat merangkak menuju stardom, artis-artis dangdut saya yakin banyak menemui aral melintang. Manggung dari kampung ke kampung. Sepi order dan persaingan yang super ketat menjadikan mereka pejuang sejati. Namun tidak saat mereka berada di puncak ketenarannya. Mereka silau dengan dunia glamor. Orderan manggung silih berganti dijadwalkan. Uang pun mengalir deras. Kehidupan mereka berubah 180 derajat.Â
Saking senangnya, mereka lupa kalau mereka juga manusia biasa. Mereka bisa khilaf dalam berucap. Mereka juga bisa silap dalam berbuat. Melucu kalau tidak ditambatkan pada logika, maka pelecehan pun terjadi. Kata yang terucap jika tidak difilter dengan sensitifitas budaya dan adat, penghinaan pun terbuat. Kamera pun merekam apa yang sudah diucap. Banyak orang terlanjur mendengar hinaan. Penyeselan pun dirasakan. Maaf harus segera dihaturkan.
Kedua, kebablasan individu dan media yang seolah tanpa kontrol. Kedua pedangdut perempuan diatas saya kira tidak mungkin kebablasan berucap saat konteks suasana tidak mendukung. Mereka bisa berseloroh melecehkan juga karena suasana membuat mereka demikian. Acara yang dianggap lucu-lucuan dan konyol menjadikan mereka kebablasan. Ditambah penonton yang memang ditugaskan tertawa. Entah tertawa natural atau buatan,pokoknya tertawa. Siapa orang yang tidak senang membuat orang tertawa.Â
Lucu-lucuan pun dilakukan tanpa kontrol. Entah mereka sadar atau tidak jika acara disiarkan live? Namun kontrol dari pengelola acara sepertinya memberi impromptu yang berlebih, baik untuk artis maupun host. Yang hanya difikirkan crew mungkin durasi waktu iklan yang mengular. Toh iklan-iklan sponsor ini yang menghidupi mereka. Perduli amat dengan ucapan artis dan host. Selama lucu juga konyol, itu yang penting. Toh teguran dari otoritas siaran di Indonesia tidak bakal mengerikan.
Kontrol yang lebih galak dipraktikkan oleh publik. Baik netizen atau audiens televisi pada umumnya akan menghujat mereka yang melecehkan. Baik melecehkan SARA atau lambang negara, publik tidak diam. Dengan bully di medsos dan keprihatinan saat membaca berita artis-artis dangdut ini menjadi kontrol yang lebih signifikan. Lebih baik dari otoritas pertelevisian yang bertindak setelah ada gejolak publik.
Publik kita galak. Ya bisa dikatakan demikian. Saya pun mengutarakan keprihatinan dengan tulisan ini. Mereka yang menghina adalah perempuan. Individu yang harusnya lebih bisa dijaga ke-frontalan berucapnya daripada lelaki. Perempuan yang harkatnya tinggi karena ia adalah calon ibu. Seorang yang nantinya menjadi guru pertama anak-anak yang mereka lahirkan. Berucap tanpa mengatur dan mencerna kata secara sosial bukan perilaku seorang perempuan ideal.