[caption id="attachment_384197" align="aligncenter" width="460" caption="A Lecturer (ilustrasi: theguardian.com)"][/caption] Mungkin bagi sebagian atau banyak guru, mengajar mahasiswa itu enak. Enak pertama, karena mereka sudah besar dan bisa belajar sendiri. Tidak seperti anak SD yang mesti diajar dan dibimbing guru atas satu mapel dengan telaten. Atau seperti anak SMP atau SMA yang harus benar-benar diberikan banyak penjelasan. Karena pada usia SMP atau SMP mereka masih labil dan sedang mencari jati diri. Enak kedua, karena mengajar mahasiswa sudah cukup kritis dan analitis, di kelas materi kuliah bisa terserap dengan baik. Beda dengan guru SD, SMP atau SMA yang mengolah siswa untuk menjadi kritis dalam belajar. Dengan susah payah 12 tahun mereka dididik dan ditempa untuk ketika mereka siap kuliah, dosen tinggal 'menikmati hasil'. Sayang sekali anggapan ini menurut saya salah. Mungkin dari 100% lulusan SMA, hanya 10%-20% persen yang benar-benar mandiri, kritis dan analitis saat kuliah. Siswa yang memiliki karakter pembelajar, mampu menembus Ujian Mandiri satu PTN terkemuka, atau melalui jalur beasiswa, PMDK dan semacamnya. Sisanya, yang menjadi mahasiswa adalah residu kebebalan akademik. Istilah residu kebebalan akademik ini maksudnya, mahasiswa yang masuk rata-rata minim kemandirian belajar, tidak fokus atas Jurusan yang diambil, dan minim motivasi. Jadi kadang, dosen inginnya memang ideal. Saat mahasiswa masuk, mereka langsung menggenjot sisi akademis mahasiswa dengan kencang. Karena anggapan awal, dengan memilih jurusan berarti mahasiswa baru mampu dengan baik bersikap analitis, kritis dan mandiri. Nyatanya, banyak dosen yang kadang harus kembali menyentuh skill dasar satu bidang Saya sendiri agak heran saat pertama kali mengajar anak-anak semester awal. Percakapan abhasa Inggris yang mereka gunakan sangat minim. Penguasaan grammar juga mengkhawatirkan. Apalagi dengan simpanan vocabulary yang sangat terbatas. Saya yang tadinya berharap mendiskusikan materi, mau tidak mau kembali membahas materi. Niatnya hendak mendiskusikan kenapa dan bagaimana Verb Tenses terbentuk dan terpola. Akhirnya kembali membahas apa dan macam-macam Verb Tenses pada mahasiswa. Saya fikir, bukannya ini adalah subjek di SMP atau SMA dulu. Seharusnya mahasiswa faham formula dan jenis-jenisnya. Namun saat saya sodorkan, mereka malah plonga-plongo. Alih-alih analitis, saya kembali membahas dan memberikan tugas seperti biasa. Dosen Jangan Mau Hanya Mengajar, Baiknya Juga Memotivasi Mahasiswa Dan dari tahun ke tahun, fenomena yang saya contohkan terus terjadi dan terulang. Mahasiswa seolah sudah malas belajar. Mereka sudah cukup jengah dan gerah selama 12 tahun belajar macam-macam. Dari tiap jenjang pendidikan, mungkin hanya sedikit yang terkait atar jenjang. Kini difokuskan pada satu bidang ilmu saat kuliah, mereka tambah mumet (pusing, Jawa). Apalagi bertemu lagi dengan guru. Walau sebutannya lebih 'keren' dan 'sangar', dosen. Tapi cita rasa dan cara mengajar tidak jauh dari guru-guru mereka sejak bangku SD sampai SMA. Dan bagi saya, dosen harusnya bisa lebih memposisikan diri lagi. Atau bahkan menggeser perannya. Bukan sebagai seorang guru seperti yang sudah-sudah. [caption id="" align="aligncenter" width="425" caption="(ilustrasi: livefitlean.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H