Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jangan Mau Jadi Ayah

13 November 2014   05:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:55 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: nowilkirin.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="455" caption="(ilustrasi: nowilkirin.blogspot.com)"][/caption] Maaf kalau saya bilang ayah itu bukan panggilan seorang anak ke orangtua laki-lakinya. Ayah, bapak, papa, papi daddy, abi, abah, atau bapak bukan sekadar panggilan. Ayah, adalah sebuah entitas utuh dengan label orangtua laki-laki dari putra atau putriinya. Label ayah adalah sosok lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan semua suka-duka, amarah-gembira dan pahit getirnya. Satu sosok dengan beragam entitas karakter. Mencoba membaur dan belajar bersama demi panggilan atau label ayah. Sulitnya bukan main. Menjadi seorang ayah itu sulitnya bukan main. Kalau masih ada ayah atau calon ayah mendidik anak seperti komandan, dan bukan teladan. Ada yang perlu dibenahi dalam karakternya. Ayah bukan seorang bos atau pemimpin yang punya kekuasaan total atas anak-anaknya. Ia sepatutnya menjadi teladan bagi anak-anaknya. Menjadi pelaku, bukan pemerintah. Ia pun harus berani dan mau dipimpin oleh sang anak. Ada kalanya ia adalah penuntun. Saat sang anak belum tahu atau faham tentang kehidupan. Karena ayahlah yang sudah lebih dahulu hidup dan merasakan asam-garam kehidupan. Ada kalanya, ayah harus mau dibelakang sang ayah. Mendorong dan meyakinkan sang anak. Untuk bangun dan menghadapi kesulitan. Saat seorang anak jatuh dan terluka. Bukan saatnya ayah memerintah anaknya untuk pura-pura baik-baik saja dan jangan menangis. Jadilah pundak anak untuk dapat anak menangis. Jadilah sandaran atas kekecewaan dan kesulitannya setelah jatuh. Lalu bimbing anak kembali untuk bangun dan mengobati lukanya. Ayah, Lupa Menghadirkan Hati Ayah, bukan pula sosok yang secara fisik hadir disamping sang anak. Ayah harus menghadirkan hati untuk anak. Banyak ayah yang menemani anaknya makan di luar. Namun, hatinya tidak pula dihadirkan. Saat ayah sibuk dengan gadget dan dunianya, sang anak duduk bingung sembari makan. Saat sang anak bermain bom-bom car, sang ayah sibuk berteriak kesenangan sendiri. Mengacuhkan anaknya yang berada tepat disampingnya. Jika hati tidak hadir, yakinlah tidak ada hubungan batin anak-ayah walau sering bertemu dan bersama. Ayah hadir antara ada dan tiada. [caption id="" align="aligncenter" width="257" caption="(foto: photography-on-the.net)"]

(foto: photography-on-the.net)
(foto: photography-on-the.net)
[/caption] Banyak anak yang didampingi ayahnya saat bermain di taman bermain. Tapi banyak dari mereka canggung dan merasa tidak bebas jika ayah berada disekitarnya. Yang anak bayangkan adalah ayah sosok boss atau komandan di rumah. Maka, di luar rumah ayah akan tetap seperti itu. Saat anak beranjak dewasa, tidak heran anak pilih banyak bermain keluar bersama teman. Jalan-jalan bersama ayah saat anak sudah dewasa pun akan terasa hambar. Karena, baik ayah maupun anak akan sibuk dengan dunianya masing-masing. Bukan menghubungkan kehadiran hati anak dan ayah. Ayah, Label Yang Dibanggakan Ayah Itu Sendiri Menjadi ayah adalah kebanggaan. Terutama untuk sang ayah sendiri. Teman kerja atau teman SMA dahulu akan turut senang jika ada anak kecil yang memanggilnya ayah. Atau anaknya yang mirip sekali dengan dirinya. Namun, apakah anak kita bangga akan ayahnya? Sebuah pertanyaan yang tidak mungkin ditanyakan langsung ke anak. Namun, ditampakkan oleh anak kita sendiri. Kebahagiaan dan rasa senang akan kehadiran ayah di dekat anak, adalah salah satu pertanda. Bahwasanya, anak bangga dengan ayahnya. [caption id="" align="aligncenter" width="444" caption="(Raeni Wisudawan Terbaik Unnes & Ayahnya Yang Tukang Becak - foto: solopos.com)"]
(Raeni Wisudawan Terbaik Unnes & Ayahnya Yang Tukang Becak - foto: solopos.com)
(Raeni Wisudawan Terbaik Unnes & Ayahnya Yang Tukang Becak - foto: solopos.com)
[/caption] Sejelek, semiskin atau sebengal apapun ayah, jika anak bangga dengan ayahnya tidak ada rasa sungkan atas kehadiran ayah. Ada hubungan batin antar hati anak dan ayah yang kuat. Sebuah ikatan kuat dan terpupuk baik, jika ayah mau menghadirkan hati. Sejak kapan? Bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Sapa dan tegur anak dalam rahim sang ibu. Anak akan mendengar dan mengenali suara ayahnya. Suara yang akan dirindukannya hadir saat buah hati kita lahir. Jadi, menjadi sosok ayah bukanlah sekadar menjadi orangtua laki-laki semata. Ayah adalah teman, orangtua sekaligus guru pertama anak dalam kehidupannya. Ayah harus mau menghadirkan hati dan menciptakan hubungan batin dengan anaknya. Jika ikatan batin ini lemah. Maka sosok pria lain di luar sana bisa menggantikan hal ini. Ayah, sosok yang sempurna dalam ketidak sempurnaanya. Siapkah dan sudahkah kita menjadi ayah? Salam, Solo, 12 November 2014 09:39 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun