Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Raya (Mistifikasi Energi)

28 Juni 2013   13:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:17 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="262" caption="Oww, sorry I hit you"][/caption] Siang hari yang lumayan panas ini, saya lewati di jalan raya dengan cukup keluhan. Mengeluh karena lalu lintas yang tersendat yang tersendat. Mobil memutar sembarangan. Orang yang selonong koboy menyeberang jalan. Pelanggar lampu merah yang makin banyak. Dan masalah lain di jalan raya. Yang mungkin orang lain yang berkendara sudah menjadi atribut kepatutan di jalan raya. Atribut yang lama-kelamaan dianggap wajar. Bukan dari atribut yang wajar atau positif, seperti menaati rambu lalu lintas. Namun atribut yang cenderung negatif. Terutama para pengendara roda dua. Atribut yang selalu menghiasi para pengendara kendaraan murah dan 'dibuat' cepat masyarakat. Dibuat cepat urusan kreditnya, dan dibuat cepat saat melaju di jalan raya. Jalan yang penuh energi yang negatif. Jalan raya dengan segala keramaian dan kebisingannya meyimpan banyak sekali mistifikasi energi negatif. Coba kalau Anda melaju atau sekadar menderu kendaraan Anda di jalan raya. Bawaan perasaan pasti negatif. Perasaan negatif atas pengendara lain. Kita sudah waspada dan tertib di jalan raya, tapi tidak dengan pengendara lain. Terkadang saya pun tersulut emosi saat orang lain tidak tertib. Nah, energi-energi negatif dari seluruh pengendara ini menuansakan negatifitas lalu lintas. Di jalan raya, orang bisa bertindak semaunya. Mulai dari mengebut tanpa perduli orang lain. menerobos lampu merah yang masih berpendar. Toh, dalam hati saya mereka tahu itu salah. Mereka tahu itu tidak baik. Tapi semua kepentingan dunia nampaknya memutus pola fikir sehat dan dewasa dengan pola tindak mereka. Disinilah mistifikasi itu terjadi. Saat para pelanggar lalu lintas ini berpolah, energi negatif dari para pengedara lain dan jalan raya itu sendiri akan melekat. Akan menjadi bagian dirinya. Saat hati kecil kebaikan itu tahu tindakan yang salah terlakukan, energi negatif pun melekat pada mereka. Energi yang tidak mudah hilang. Energi negatif yang dapat mengulang kebiasaan buruk. Energi negatif yang akan mengendap lama. Energi negatif yang kemudian menjadi pola tindak atau perilaku mereka sehari-hari di jalan raya. Energi negatif pada mereka pun akan tersebar ke pengendara lain. Saat para pelanggar ini merugikan orang lain, orang tersebut tentu akan berisi energi negatif. Energi yang ditularkan. Energi negatif yang mengisi udara jalan raya. Energi negatif yang dihirup dan dirasakan para pengendara di jalan raya. Belum lagi energi negatif lain yan melekat di aspal jalan raya. Aspal yang pernah menyaksikan darah tertumpah. Debu aspal yang pernah melekat pada orang kecelakaan lalu lintas yang meregang nyawa, mengaromakan kepedihan. Aspal yang pernah merasakan kesedihan keluarga korban meninggal dunia. Aspal yang menyimpan semua energi negatif ini meradiasikan energi negatif pula. Energi yang akhirnya melekat kembali ke para pengendara di jalan raya yang tidak baik. Aspal hitam itu sudah sangat lama menyaksikan energi negatif para pengendara. Kemudian energi negatif itu pun sudah cukup lama dan meradiasi pola fikir dan tingkah tindak pengendara ugal-ugalan. Pengendara yang selalu merasa hebat dan tercepat di jalan raya. Jalan raya bukan jalan sirkuit balap. Tapi pandang mereka nampaknya sudah sekian kabur, sehingga semua pengendara di hadapan mereka serasa lawan yang harus segera disusul. Belum lagi para pengendara roda dua dengan knalpot bising. Knalpot yang tidak pernah baik di telinga. Saya fikir, mereka yang memasang knalpot bising -atau racing istilahnya- merasa paling gagah di jalan raya. Merasa paling hebat motornya. Namun itu semua hanya radiasi energi aspal hitam jalan raya. Energi yang menawarkan kegagahan semu. Kegagahan yang tidak terekognisi akal sehat. Kegagahan yang mengundang caci dan dengki. Saya mengeluh pun sudah termasuk memberi energi negatif pada hitamnya aspal jalan raya. Aspal yang sudah cukup padat dipenuhi kesedihan , kesombongan, kecongkakan, ratapan kematian, dan nafas sakaratul maut. Sebegitu padat energi negatif ini, pendaran energinya begitu kuat mendobrak akal sehat. Kita yang mungkin sebelumnya dengan sadar dan bahagia berkendara, bisa menjadi liar dan penuh emosi. Penuh dengan pola caci masing-masing kita. Penuh dengan penyesalan. Lalu energi negatif dari tiap kita akan selalu bersiklus di jalan raya. Akan selalu menguat dan meradiasi energinya. Solo, 28 Juni 2013 02:50 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun