Â
Terbersit gelisah dan kesedihan saat saya mengawas UAS mahasiswa PGSD tadi pagi. Dengan cara dan trik mereka, mereka mencontek. Ada pula yang beberapa tengak-tengok bertanya jawaban ke temannya. Saya coba tegur sambil guyonan, mereka tetap mengulangi. Saat ujian hampir usia, dan di luar kelas sudah ramai.Â
Mereka yang di dalam mulai ramai. Tengak-tengok bertanya jawaban kembali terjadi. Saya coba senyumi, namun seolah tidak mempan. Malah cekikikan berdua. Teman-teman mereka sudah mulai ramai keluar dari kelas sebelah. Ributlah rombongan mahasiswa PGSD di luar yang sudah selesai ujian. Suara mereka bersahutan dan tertawa lepas sangat mengganggu. Seolah yang ujian mereka sendiri.Â
Kegelisahan saya pun menerawang. Jika anak saya sekarang berusia 2,5 tahun. Dan saat ia berusia 7 tahun ketika masuk SD. Maka mahasiswa PGSD yang saya awasi sekarang, mungkin saja menjadi gurunya di SD nanti. Walau probalilitas kecil. Jika saya masih tinggal di Solo, tidak mungkin anak saya diajari generasi mahasiswa PGSD yang saya awasi sekarang. Tidak hanya anak saya, anak yang seusianya di lingkungan rumah saya pun memiliki kemungkinan yang sama. Dalam hati saya bergulat dan tidak mau menerima kenyataan. Bahwasanya, mana mungkin anak saya diajarkan guru SD yang dulu mencontek? Saya tidak terima.Â
Guru SD, Guru Peletak Fondasi Bekal AnakÂ
Tidak disangkal lagi, 6 tahun masa sekolah dasar adalah peletak fondasi dasar hidup anak. Walau sejatinya harus dimulai dari rumah. Kemajuan jaman dan tuntutan ekonomi kadang menjadikan orang tua 'lepas tangan' dalam mendidik. Mereka lebih memilih guru sebagai 'pengganti' diri mereka sebagai pendidik. Karena embel-embel 'pendidik' sudah kian suci dilekatkan pada profesi guru. Sehingga kadang gurulah orang tua mereka. Apalagi menyangkut pendidikan dasar anak. Dan juga lamanya yang mencapai 6 tahun. Anak sejak usia 6-7 tahun sudah dipercayakan pembentukan karakternya oleh seorang guru. Satu orang yang dibebani membentuk 30-40 orang anak. Yang bukan anaknya sendiri.Â
Kadang sukses menjadi guru teladan untuk sekolahnya. Namun luput menjadi teladan untuk anaknya sendiri di rumah. Tugas dan tanggung jawab seorang guru SD pun bukan main-main. Guru kelas sekaligus mapel masih banyak diterapkan di banyak sekolah. Tanggung jawab sebagai role model dan panutan pun dibebankan pada guru SD. Layaklah ada satu fakultas atau prodi yang memfokuskan pendidikan dasar. Malah, sampai di-breakdown menjadi Pendidikan Usia Dini. Sebuah simbolisasi apresiasi akan tugas guru SD.Â
Namun hal ini pula sebagai bentuk beban guru SD. Mereka dituntut memiliki profesionalitas dan integritas karakter yang baik. Sebagai pengajar dan pendidik, guru SD harus bisa menjalankan kedua hal tersebut. Namun apa jadinya jika sejak mahasiswa saja, calon guru SD ini mencontek? Sepele bagi mahasiswa fakultas atau jurusan lain mungkin.Â
Namun menjadi parameter dini, bahwa calon guru SD ini bakal bermasalah nantinya. Secara akademis, pemahaman konsep saja tidak mumpuni. Apalagi, integritas karakter yang lemah dengan memilih jalan mencontek. Nilai kejujuran dipertaruhkan. Jika saat menjadi calon guru SD saja keterampilan akademik dan intergritas atas kejujuran dipertanyakan.Bagaimana saat mereka mengajar anak saya nanti? Jadi apa anak saya nanti jika gurunya saja mencontek? Mungkinkah karakter mereka berubah dan menjadi guru yang berintegritas? Sulit.Â
Karena mahasiswa PGSD ini sudah dewasa. Dan seharusnya paham benar arti kata mencontek itu tidak baik. Dan kebetulan mereka saat ini ada di semester 5. Jika intergritas profesionalitas dan pedagogis tidak dilatih dan dipupuk saat di bangku kuliah. Sulit rasanya mengubah hal ini saat mereka terjun ke dunia pendidikan. Tidak heran nantinya masih ada anak SD yang mencontek saat ujian. Atau malah, mem-bully murid dan melakukan pelecehan pada muridnya. Lalu, buat apa nantinya anak saya masuk SD cuma untuk diracuni karakternya? Kami orang tuanya susah payah membentuk karakternya di rumah. Harus kalah dengan guru SD semacam mahasiswa PGSD yang saya awasi sekarang?