Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Horor Singkat Tercekat #37

10 September 2015   23:16 Diperbarui: 10 September 2015   23:16 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Lonely Stroll - ilustrasi: reallifeiselsewhere.blogspot.com)"][/caption]

Desir angin malam semakin menusuk. Aku tetap menunggu kekasihku disini. Ya, tepat di perempatan ini ku tunggu ia. Hampir tiap malam ia ku tunggu. Masih ingat bagaimana ia bilang cinta saat menaiki motornya. Dan di perempatan ini kekasihku menurunkanku. Untuk lalu ia memperkosaku. Lalu membekapku sampai habis nafas di ujung leherku. Wahai kekasihku, aku masih menunggumu. Walau disini aku menangis. Dimana dirimu?

- - o - -

Untuk kesekian kali, Indi akhirnya penasaran. Entah kenapa, pintu kostnya selalu ada yang mengetuk setiap malam. Ketukannya pun bukan seperti ketukan orang yang hendak masuk. Hanya ketukan perlahan ke pintu. Kali ini ia akan langsung membuka pintu saat ada suara ketukan. ‘Tuuk..tuuk!’ tepat saat suara ketukan itu muncul, Indi membuka pintu. Aneh! Tidak ada siapa-siapa diluar. Tepat saat ia hendak menutup pintu, ada potongan tangan bergerak masuk ke kamarnya. Indi terbelalak kaget. Sedang nafasnya tercekat.

- - o - -

‘Maah, anterin sikat gigi’ rengek Putra. ‘Iya.. iya kak. Sebentar ya.’ Segera ibu menutup buku yang sedang ia baca. ‘Kenapa mesti diantar sih kak? Di rumah kan biasanya sendiri?’ Tanya ibu menggandeng Putra. ‘Putra takut mah..’ jawab Putra sembari menggenggam erat tangan ibunya. ‘Takut apa? Rumah bude memang besar. WC-nya cuma dekat dapur ini. Lagi pula terang kan jalannya ke dapur.’ terang si ibu. Saat itu juga Putra menghentikan langkahnya. Si ibu diam saat Putra menunjuk ke atas langit-langit pojok dapur. Dua matanya nanar merah menatap. Rambutnya terurai lepas ke bawah. Sosok wanita itu bengis menatap Putra dan ibu. Posisinya hanya diam, seolah tergantung.

- - o - -

Satu hal yang paling kusuka dari profesiku perias jenazah adalah ekspresi wajah mereka. Mudah sekali terlihat jika jenazah di akhir hidupnya bahagia, kadang ada air mata yang keluar dari sela mata mereka. Kadang pula, saat membedaki ada sunggingan senyum. Aku pun membalas senyum mereka. Sembari megucap terima kasih sudah percaya denganku. Adapun sekali waktu, jenazah yang marah. Ia tiba-tiba membuka mulutnya dan matanya tiba-tiba melotot. Biasanya akan segera ku minta datang keluarga si jenazah. Mungkin ada hal-hal yang ingin disampaikan yang selama ini menjadi beban si jenazah. Jadi, jenazah tidak selamanya benar-benar tidak bergerak. Mungkin hati mereka masih bisa merasa arwah mereka yang bahagia dan sedih.

Cerita lainnya:

#1 | #2 | #3 | #4 | #5 | #6 | #7 | #8 | #9 | #10 | #11 | #12 | #13 | #14 | #15 | #16| #17| #18| #19| #20| #21| #22|#23| #24 | #25 | #26 | #27 | #28 | #29 | #30 | #31 | #32 | #33 | #34 | #35 | #36

Salam,

Solo, 10 September 2015

11:17 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun