Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Horor Singkat Tercekat #27

26 Maret 2015   22:30 Diperbarui: 7 Maret 2016   14:01 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: frannielovesmarie.wordpress.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="533" caption="(ilustrasi: frannielovesmarie.wordpress.com)"][/caption]

Aku selalu tidak suka melewati rumah tetanggaku ini. Sudah 1 tahun kosong, di rumahnya ini pernah ada orang gantung diri. Malam ini, ku pulang selepas pukul 9 malam. Gelap tanpa lampu, rumah kosong ini serasa pekat. Tanpa menoleh ke percepat langkahku. Tiba-tiba ada sesuatu tersangkut kakiku dan ku jatuh terjerembab. Ada tali tambang tergelettak di jalan. Bentuknya seperti tali tambang. Ku coba lihat seksama. Bentuknya seperti tambang untuk menggantung leher manusia. Ku bangkit, ku ambil langkah seribu menjauh dari rumah kosong tadi.

- - o - -

"Karpetnya kok agak hitam kering begini pak?" tanya ku pada si penjaga villa. "Oh, itu dari kulit pak memang begitu" jawabnya singkat. Karpetnya tidak begitu besar, hanya 2 meteran panjangnya. Yang membuatnya aneh adalah, semua bagian dijahit jadi satu. Setiap bagian acak, dengan tiap ujungnya melengkung ke atas. Namun coba dijahit seadanya dengan benang hitam. "Kulit apa pak?" penasaran ku bertanya. "Kulit manusia den. Dulu yang punya villa ini dokter bedah. Koleksi kerangkanya ada banyak di belakang" jawabnya. Ku diam berdiri tercekat.

- - o - -

"Mah, itu apa mah?" tanya putriku. "Mana de?" ku lihat apa yang ditunjuknya. "Itu lho diatas. Mbaknya kok senyum-senyum aja..?" sambil menunjuk ke atas pohon beringin tua. Mata ku membelalak, bulu kudukku berdiri. Ku segera gendong putriku. Ternyata aku salah mengambil jalan pintas pulang melewati kebun ini. Apalagi selepas magrib.

- - o - -

Rindi selalu menolak diajak Midnite shopping di Mall ini. Entah kenapa malam mau menemani kakaknya, Rindu. Saat kakaknya sibuk memilih eyeshadow di konter kosmetik, Rindi berbelok untuk melihat-lihat di lorong baju wanita. Seorang wanita berdiri diam di sana. Rindi ragu melangkah, melihat wanita itu hanya berdiri menatap baju yang tergantung. Rindi mencoba mencuri pandang apa yang si wanita lihat saat melewatinya. Mengernyitkan mata, Rindi seksama melihat apa yang wanita ini perhatikan. "Liat apa sih mbak?" Rindi diam dan penasaran bertanya. Tanpa tahu, wanita tadi sudah tidak ada disamping Rindi.

- - o - -

"Permisi...Permisi...!" Hendra longak-longok di depan sebuah rumah. "Yaa.." Ferdy keluar melangkah. "Akhirnya, sampe juga lho Ndra. Masuk masuk!" Ferdy membuka pintu gerbang. "Susah ya nyari kos lho Fer. Untung ada pak Hansip di pos ronda deket itu yang tahu kos lho. Kalau ga gue tidur dimana malam ini?" ungkap Hendra. "Hansip?... Tua?...Kumis agak beruban?" Ferdy bertanya dengan wajah memucat. "Iya persis! Emang kenapa Fer?" Hendra heran. "Kalau gitu lho baru ketemu Hansip yang meninggal 7 hari lalu Ndra" Ferdy lalu bungkam dan berbegas masuk ke kos. Hendra mengikuti dengan tatapan kosong ketakutan.

Cerita lainnya: #1 | #2 | #3 | #4 | #5 | #6 | #7 | #8 | #9 | #10 | #11 | #12 | #13 | #14 | #15 | #16 | #17 | #18 | #19 | #20 | #21| #22|#23 | #24 | #25 | #26

Salam,

Bandung, 26 Maret 2015

10:30 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun