Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Horor Singkat Tercekat #17

9 Januari 2015   05:45 Diperbarui: 7 Maret 2016   13:49 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: imgkid.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="373" caption="(ilustrasi: imgkid.com)"][/caption]

Kupandangi wajah suamiku yang tidur lelap lewat tengah malam ini. Wajahnya seolah menggambarkan sebuah ketenangan batin. Tidak pernah memahami kesulitan rumah tangga kami. Gajinya sebagai buruh pabrik sendal, tidak mencukupi pengeluaran keluarga kami. Dua anak yang berusia 8 dan 3 tahun, kami pertahankan. Namun kini mereka telah tiada. Dua-duanya saya racun. Meratap sambil menangis sedih. Ku kecup kening suamiku. Kecupanku adalah perpisahanku sebelum ku minum racun yang sudah ku genggam ini.

- - o - -

Yang terbayang saat leher Irwan terjerat kencang tali yang menggantungnya, hanya wajah kekasihnya. Seorang yang ia cintai yang selingkuh dengan temannya. Yang ia rasa adalah kebencian diiringi sengal nafas terakhir. Saat sakit jantungnya hendak mencari nafas, Irwan hanya bisa nanar membayangkan wajah mantannya. Saat lidah mulai membengkok menutupi tenggorok. Yang Irwan tahu ia akan membalaskan denda lukanya, dengan mencabut nyawanya sendiri.

- - o - -

Mungkin ini kali terakhir Brighita mengunjungi suaminya. Brighita hanya bisa menatap sendu wajah suaminya. Suaminya sudah tergeletak sekarat di tempat tidur rumah sakit ini. Tangis Brighita sudah tidak mungkin terurai lagi. Karena ia tahu suaminya sudah sakit parah sejak 4 tahun lalu. Mungkin kematianlah yang sudah menjadi jalan akhir suaminya. Dan dengan kematianlah suaminya akhirnya bisa bertemu Brighita yang sudah pula tiada.

- - o - -

Entah apa yang perempuan itu tangisi. Sudah hampir tiap malam aku pindah dua minggu lalu ke rumah ini. Ia selalu menangis pilu. Bagi yang mendengarkannya, suaranya menyayat hati. Entah, seolah perempuan ini menyampaikan sesuatu dengan tangisnya. Suara tangis ini berasal dari lantai atas rumahku. Saat suamiku terlelap dengan tidurnya. Aku hanya bisa tercekat menutup telinga karena tangis pilu perempuan ini. Karena malam ini, tangis itu tepat berada di samping tempat tidurku.

- - o - -

Kupandangi anakku yang berusia 3 tahun, sambil ku menahan tangis. Ia meregang nyawa dan mulutnya berbusa setelah ku berikan susu beracun ini. Anakku yang pertama, si sulung sudah dahulu menyambut kematiannya. Sempat ia bertanya dengan sakitnya kepadaku. "Ibu, kok aku sakit" lirih ia bertanya sambil memandangku. Aku hanya bisa menyungging senyum, walau hati tersayat hancur. Ku sisakan setengah gelas racun sembari yang nanti aku minum. Ku pandangi wajah suami yang tanpa beban tertidur lelap di satu tempat tiur reot ini. Kedua anakku sudah bukan lagi menjadi bebannya. Nantipun, aku tidak lagi menjadi bebannya. Ku kecup kening suami sebagai tanda perpisahan. Ku tenggak habis sisa racun di tanganku. "Selamat tinggal beban hidup" terbersit kata hatiku menjelang ajalku.

Cerita lainnya: #1 | #2 | #3 | #4 | #5 | #6 | #7 | #8 | #9 | #10 | #11 | #12 | #13 | #14 | #15 | #16

Salam,

Solo, 08 Desember 2015

10:44 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun