Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

"Helicopter Parenting", Apaan Tuh?

29 Juli 2016   13:58 Diperbarui: 29 Juli 2016   14:57 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Helicopter Parents - ilustrasi: baysidejournal.com

Semua orang pernah melihat tentunya. Helikopter akan melayang menggunakan baling-balingnya untuk mengangkasa. Helikopter pun mampu melayang-layang di satu tempat, alias stationery. Konon konsep helikopter diambil dari gaya terbang capung. Ia dapat terbang melaju dan juga dapat melayang-layang. Tidak serupa pesawat jet yang hanya melaju. Helikopter memiliki agilitas dalam mengarungi medan sempit dan sulit dijangkau. 

Lalu apa hubungannya helikopter dengan pola asuh? Ternyata memang ada orangtua yang serupa helikopter. Orangtua seperti ini akan terus melayang dan mengitari anaknya. Bukan secara literal orangtua bisa melayang-layang. Namun orangtua helikopter ini akan over-protektif dengan anaknya. Semua gerak dan keinginan anak harus menjadi prioritas orangtua.

Melakukan banyak hal untuk dan demi kebahagian anak bisa mendatangkan bencana. Andrew Fuller, penulis buku Tricky Kids: Transforming Conflict and Freeing Their Potential mengingatkan bahwa: 1) Satu saat anak harus bisa hidup tanpa orangtua, 2) Anak belajar ketrampilan dan kepercayaan diri saat mengatasi sesuatu sendiri, dan 3) Bantuan kadang malah tidak membantu, hal ini menghilangkan cara anak mengatasinya sendiri.

Sebagai contoh orangtua yang membuatkan PR anaknya. Pada sisi orangtua, hal ini bisa saja wajar. Mungkin anaknya menemui kesulitan. Namun terlibat terlalu banyak dalam mengerjakan PR bisa berakibat buruk. Richard Walker, seorang psikolog pendidikan di University of Sydney memaparkan bahwa orangtua yang terlibat terlalu banyak anak kehilangan otonominya. Dalam mengerjakan PR, orangtua cenderung membawa emotional labor. Emotional labor ini adalah stress dari pekerjaan. Dan hal ini memberi beban juga pada saat mengerjakan PR.

Efek jangka panjangnya, menurut peneliti di Keene State College di US, ditemukan saat anak masuk kuliah. Anak yang dibesarkan dengan orangtua helikopter cenderung tertutup pada gagasan dan aktifitas baru. Mereka juga mengalami rendah diri, kecemasan dan rapuh. Dan studi pada anak dengan orangtua over-protektif di Sandiego University menemukan fakta bahwa anak-anak ini cenderung manja. Etos kerja mereka rendah walau mereka ingin gaji yang besar. Studi ini dibuat oleh Jean Twenge di San Diego State University.

Lalu bagaimanakah ciri-ciri orangtua helikopter? Banyak hal yang bisa dilihat. Disadur dari psych4schools.co.au, ciri-ciri orangtua helikopter: selalu mengawasi gerak-gerik anak; percaya terlalu besar tentang apapun yang anak adukan; mudah menyalahkan orang lain, terutama yang dekat dengan anaknya ; dan, menyuruh dan mengancam guru atau sekolah anaknya. Mungkin akan banyak lagi ciri-ciri orangtua helikopter pada masing-masing kasus over-protektif. 

Saya yakin anak memang memiliki caranya sendiri tumbuh. Mereka akan bisa menyelesaikan masalahnya, dengan caranya sendiri. Orangtua memang pelindung anaknya. Namun bukan berarti harus menjadi body-guard. Harus selalu siap sedia kapan pun dimana pun untuk anak. Saya pun yakin, tidak ada orangtua yang ingin anaknya manja. Dan ukuran manja bagi tiap-tiap orangtua mungkin berbeda. Namun baiknya, orangtua harus bisa memberi batas untuk semua hal kecuali cinta dan perhatian.

Referensi: kidspot.com.au | news.com.au | psy4school.com.au 

Salam,

Wollongong, 29 Juli 2016

04:58 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun