Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Direktorat Keayahbundaan Kemendikbud, Buat Apa?

19 Januari 2015   22:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:48 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14216785231893088601

[caption id="attachment_391883" align="aligncenter" width="550" caption="(ilustrasi: http://childrenshouseinternational.com/)"][/caption]

Tergelitik mencoba membahas tentang rencana pembentukan Direktorat Keayahbundaan (DirKAB) oleh Mendikbud Anies Baswedan. Pembentukan DirKAB ini nantinya akan mengoptimalkan peran orangtua dalam mendidik anak. Yang selama ini orangtua diposisikan sebagai stakeholder dalam system pendidikan kita. Kini orangtualah yang juga akan berperan sebagai pendidik. Dan secara sistematis, orangtua akan dipersiapkan sebaik mungkin untuk membesarkan generasi terbaik bangsa. Terutama menyambut Kebangkitan Indonesia tahun 2045 nanti. Terbayang optimisme yang dalam dalam DirKAB. Namun pula, terngiang pesisme pada DirKAB.

"Salah satu fokus kita adalah peningkatan kemampuan orangtua. Orangtua agak terlewatkan. Terpenting tapi tidak tersiapkan. Direktorat Keayahbundaan disiapkan agar peran orangtua lebih real (nyata) bagi anak," kata Anies dalam diskusi dengan redaksi harian Kompas, Jumat (16/1/2015). (berita: kompas.com)

Keayahbundaan, Optimisme Membangun Generasi Emas

Yang saya tangkap, istilah keayahbundaan sendiri sepertinya mengacu pada metode parenting anak, atau pola asuh anak. Sebuah tren gerakan yang banyak digiatkan komunitas Parenting di Indonesia. Dan banyak diantaranya yang saya tahu. Seperti contohnya AIMI oleh Maya Sutanto, Ayah ASI yang salah satunya Soegi, selebritis kita yang mendukung pemberian ASI. Ada pula Parenthink yang juga digiati oleh Mona Ratuliu. Juga ada beberapa psikolog dan praktisi seperti Toge Aprilianto, Ayah Edi,. Saya pun yang juga berkecimpung dalam dunia Parenting ini, juga melihat gerakan ini sebagai gerakan yang baik. Melalui Komunitas Sayang Anak Solo, kami mencoba perduli dan berbagi tentang pengalaman dan ilmu mengenai Parenting.

Mulai dari menyiapkan persalinan anak yang nyaman, aman dan normal. Meminimalisir trauma saat anak dilahirkan adalah cara menyambut anak yang baik. Lalu memberikan asupan ASI eksklusif pada saat usia 0-6 bulan atau lebih. Menyiapkan MPASI agar serapan nutrisi anak nantinya baik. Mempersiapkan anak dengan makanan yang baik saat berumur 2 tahun atau lebih. Lalu pola mendidik di rumah dengan ayah bunda yang juga minim kekerasan dan penuh contoh dan panutan. Belum lagi sex education yang juga orangtua harus tanaman sejak dini. Dan beragam tugas lain keayahbundaan. Yang semoga dipersiapkan dengan baik oleh DirKAB.

Dan dengan dirancangnya DirKAB, hal ini merupakan wadah optimisme yang baik. Pemerintah melalui Kemdikbud akhirnya mau menyentuh peran orangtua sebagai pendidik. Sebuah kebanggaan tersendiri jika pemerintah mau perduli mempersiapkan anak dengan orangtua yang hebat. Tentunya, mempersiapkan orangtua dimulai sebelum pernikahan terjadi. Orangtua harus dibekali saat menngandung anak, baik ayah maupun bunda. Lalu melewati masa emas anak, usia 1-5 tahun. Bahkan menjelang mereka dewasa pada usia 13-15 tahun. Dan diharapkan, anak memiliki karakter kuat dan menjadi pribadi mandiri. Dan jangka panjang, cara mendidik orangtua mereka dapat ditiru saat mereka menjadi orangtua juga nantinya.

Pesisme Masif Yang Menjadi Tantangan

Majunya jaman beserta manusia didalamnya tentu memberikan tantangan buat orangtua. Jaman nenek kakek kita dengan teknologi minim, tentunya berbeda cara asuh anak. Keayahbundaan yang dihadapi pada era teknologi dan cepatnya anak belajar dari lingkungan saat ini, tentunya bukan analogi yang baik jika berbicara masa lalu dan masa sekarang. Kekhasan istilah keayahbundaan dengan segala elemen dan factor pendorongnya di masyakarakat, tentunya berbeda setiap jaman.

Misalnya, orangtua sekarang lebih khawatir apa yang diunduh anak lelaki, dan apa yang diunggah anak perempuan. Daripada persoalan menaati pamalih atau larangan berbau mitos. Yang tentunya akan mengudang tanya dan jawaban yang tidak memuaskan untuk generasi saat ini. Belum lagi factor bully, tayang yang tidak edukatif, sampai masalah jajan di sekolah. Yang barang tentu membuat orangtua di jaman ini harus lebih ‘klik’ informasi dan situasi. Dan pesimisme pada model DirKAB pun muncul di benak saya.

Jaman yang penuh tuntutan ekonomi dan pemenuhan strata social tentunya membuat orangtua harus bekerja keras. Anak pun kadang hanya dititipkan. Mulai dari tempat penitipan anak saat ia kecil. Sampai ia besar dan sekolah. Sekolah sudah serupa penitipan anak. Dimana kadang orangtua benar-benar percaya anak menjadi baik dengan didikan gurunya. Dengan uang, mereka percaya guru memberikan layanan pendidikan ‘prima’ untuk anak mereka. Faktanya? Sekolah mahal belum tentu menjadikan anak berkarakter atau baik, menurut parameter orangtua.

Orangtua harus sibuk bekerja untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan anak. Berangkat kerja pukul 5 pagi guna menghindar macet. Lalu pulang jam 10 malam dengan badan yang sudah lelah lalu pilih beristirahat. Sedang anak sudah merindukan sosok ayah dan bunda yang ia tunggu sejak siang. Jika ada program DirKAB, misalnya orangtua harus menjalankan seminar, workshop atau pelatihan. Sanggupkah orangtua yang sudah lelah ini? Maukah mereka meluangkan weekend mendengar penyuluhan atau pembinaan tentang keayahbundaan dari DirKAB? Sedang weekend mereka pilih menjadi waktu sitirahat misalnya?

Harapan Generasi Emas Indonesia 2045

Entah program apa nanti yang dicanangkan DirKAB untuk mempersiapkan orangtua yang berdaya untuk anaknya. Namun patut pula diberikan apresiasi dan dorongan dari kita semua. Sudah cukup kita melihat keterpurukan karakter generasi bangsa. Dan tentunya, ada ketakutan besar jika tongkat estafet kepemimpinan negara ini jatuh pada generasi yang mengkhawatirkan ini. Tentunya, banyak pula generasi emas di antara generasi yang ada sekarang.

DirKAB tentunya membawa misi mulia dan berat untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia 2045. Namun ghalibnya, pendidikan itu memang tugas guru. Karena guru itu digugu (dipatuhi, Jawa) dan ditiru. Filosofi ini yang seharusnya melekat pada orangtua. Karena, anak belajar pertama kali dari orangtua. Bahkan sejak dalam kandungan.

Salam,

Solo, 19 Februari 2015

03:16 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun