[caption id="" align="aligncenter" width="530" caption="(ilustrasi: www.openprints.com)"][/caption] Melihat sekaligus berduka untuk korban kecelakaan KA-Truk tangki di Bintaro baru-baru ini, menjadi cermin keruh pola masyarakat Indonesia berkendara di jalan raya. Palang pintu yang sejatinya menjadi warning untuk tidak melintas, walau saat sirene mulai berbunyi kadang tidak diindahkan. Truk tangki yang entah terburu-buru atau memang melihat 'kesempatan' menerobos telah memakan korban jiwa. Dan pola umum mencuri 'kesempatan' melanggar lampu lalin atau kebut-kebutan dan serampangan di jalan raya banyak ditemui. Seakan-akan nyawa pengendara itu 9 buah, serupa mitos kucing. Kadang, kita sudah berhati-hati namun pengendara lain dengan serampangan da tidak tahu aturan atau lampu mencelakakan kita. Kita yang sepatutnya menunggu di lampu merah sampai berubah hijaun kadang digesa-gesa atau diklason berkali-kali untuk segera tancap gas. Walau detik masih menunjukkan angka 5. Palang rel yang seharusnya saat sirene berbunyi atau sudah mulai turun, kendaraan wajib berhenti kadang dicuri-curi terobos. Pengendara yan tidak sabar menerobos. Atau pengendara motor menerobos dengan tancap gas sekencangnya. Seakan nyawa mereka para pelanggar rambu lalin ada sérep atau cadangannya. Ngeri! Walau jalan raya milik publik, tetapi penggunaannya tidak harus melanggar hak orang lain. Dengan bergerombol dan petakilan, para 'bikers moge' bisa seenaknya ngebut dan menyuruh minggir orang yang lewat. Serasa dirinya paling penting, voorridjer pejabat dengan diiringi sirene dan megaphone polisi untuk segera menyingkir dan mendahulukan orang 'penting'. Walau keadaan macet dan semrawut, voorridjer serasa nyawa si 'orang penting' ini lebih tinggi daripada bapak-bapak tua dengan motor Supra bututnya berkendara perlahan dan nyungsep ke parit karena kaget. Jalan raya juga menjadi ajang kebut-kebutan remaja dan orang tua yang tidak dewasa pula. Ada orangdengan motor Raja-nya bertindak semaunya. Seakan saat ia di jalan raya semua harus menyingkir dan 'takut'. Dengan menggeber-geber gas dan dandanan serupa preman, para pemuja motor Raja ini merasa memiliki jalan raya untuk mereka sendiri. Belum lagi remaja-remaja labil dengan motor setengah rusaknya, berpolah serasa pembalap drag race lintasan balap. Merasa paling kencang diantara pengendara lain. Dan merasa paling jago di jalan raya. Dengan helm seadanya, atau malah tidak memakai helm, mereka meliuk-liukkan motornya diantara deretan kendaraan. Tanpa merasa nyawanya cuma 1, mereka terus melaju dan menderu. Merasa mereka hidup untuk saat ini saja. Bukan untuk hari esok. Mari berkendara dengan bijak dan santun. Salam, Solo, 10 Desember 2013 02:59 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H