Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Puasarkastik #3

25 Juni 2015   11:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:13 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Propaganda dan Promosi Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Betapa naif entitas yang bersenandung 'Selamat Menunaikan Ibadah Puasa'. Baik tokoh maupun iklan di televisi, semua bersama-sama menuturkan 'tulusnya' ucapan ini. Indah memang indah. Tulus memang tulus. Karena kita yang membacanya. Karena kita yang mendengarnya. Karena semua sudah dikontrol dengan baik. Sehingga foto-foto pejabat dan orang-orang terkenal itu memampang senyum. Sehingga, iklan-iklan produk di televisi tadi menunjukkan orang-orang bergembira dengan pakaian bagus dan latar yang indah.

Dengan bilboard besar dan mentereng, kiri-kanan jalan dihiasi wajah-wajah pejabat. Dengan tulisan besar dan menarik, 'Selamat Menunaikan Ibada Puasa', terlihat tulus memang. Namun, kenapa harus ada wajah si pejabat tersnyum? Kenapa harus ada orang-orang besar tadi mengurai wajah manisnya? Seolah gambar dan foto diri mereka adalah perwakilan imaji mereka. Ah, betapa propaganda citra diri itu memang menarik. Apa kerja mereka yang bisa kita banggakan.Sedang dengan senyum 'indah' pejabat ini seolah-olah saja menuturkan ketulusan. Apa sih kerja nyata mereka? Selain membangung dinasti di kursi nyaman negara.  Malah sebaliknya. Orang-orang yang benar bekerja dan bersumbangsih, malah tidak membuat ucapan seperti ini. 

Belum lagi tambahan ucapan ini di iklan-iklan televisi. Dua petanda pun muncul. Antara promosi dan simpati kepada mereka yang berpuasa. Sayangnya, nilai simpatinya pun lebih besar. Semua karena dua cinanda: suasana dan waktu. Karena sedang kita sedang dalam suasana Ramadhan, ikla ucapan ini sangat sesuai. Begitupun dengan waktunya. Semua ditayangkan pas saat menjelang bedug magrib. Saat semua orang memasang mata dan telinga pada suara bedug. Baik yang ada di televisi maupun di mushola dan mesjid, suara bedug dan adzan yang dirindukan. Tragisnya, ini semua disusupi iklan-iklan ucapan dan acak, berulang-ulang.

Berceramah Dengan Merokok

Lagi-lagi permainan sinistik iklan rokok dengan penyajian aji mumpung. Iklan rokok yang sangat dibatasi geraknya, mencari celah dan cara agar namanya muncul di TV. Sehingga, setiap mellihat mereknya, baik kata maupun angka, semua teringat akan rokoknya. Bagi para perokok, mungkin mereka merasa bangga. Namun tidak dengan saya. Bangga karena rokok, dengan namanya, mensponsori seorang syekh untuk berceramah. Isi ceramahnya indah. Cara menyampaikannya pun baik. Sayang seribu sayang, kemasannya kalau bisa saya sebut menjijikkan!

Dengan tema kultur Semitik, sang syekh menuturkan wejangan dengan indah dan seksama. Berlatar tempat di sekitara jazirah Arab, betapa nuansa Timur Tengah terasa bagi para pemirsa. Isi seramah mendayu dan ucapan ditata sedemikian rapih. Doa pun terhatur di penghujung kultum. Menyiratkan betapa indah Islam beserta ajarannya. Betapa suasana dan nuansa pun tercipta serasa kembali ke jaman para Nabi.

Ironis. Betapa kita merasa sinis melihat siapa yang memberi dana membuat kultum ini. Sebuah perusahaan rokok dengan merek sebuah perkakas menjahit. Betaapun kita tidak ingin mengaitkan nama perusahaan rokok ini dengan produknya, akan tetap terbayang rokok. Rokok yang terus merenggut generasi muda bangsa. Betapa pendeknya rokok tidak sependek cara picik perusahaan rokok mencari cara meracuni fikiran. Beragam cara dan media pun dibungkus dengan 'rapih'. Dari mulai olahraga, sampai beasiswa semua diberi. Uang-uang inilah uang kotor yang diraup dari paru-paru kotor yang merenggut nyawa. Ya, uang kematian ini lalu digunakan untuk ceramah agama. Sarkastik sekali!

Salam,

Solo, 25 Juni 2015

11: 04 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun