Agama Televisi Adalah Agama Hiburan
Tidak ada yang relijius dari televisi selama puasa. Naïf jika dikatakan memiliki ‘agama’. Karena televise dipandang hiburan semata. Maka agama pun dibuat menjadi hiburan. Tidak ada namanya ajang lomba ceramah member pencerahan. Ajang ini hanya lomba menunjukkan kita, bahwa agama bisa menjadi hiburan. Sedikit yang mendapat hidayah. Banyak yang mendapat tagihan pulsa atau kehilangan pulsa. Betapa rendah penilaian pemilih terhadap nilai dakwah. Ia dinilai hanya Rp. 2.200 dikali beberapa ribu SMS. Itupun yang untung penyedia jasa dan pihak televisi. Masih terhormat guru ngaji yang ikhlas dibayar 200,000 per bulan. Ia mengabdi dengan agamanya untuk anak cucu. Sedang para penceramah yang berlomba menjadi komoditas iklan dan fihak TV. Yang semata-mata mengeksploitasi agama.
Belum lagi wakil gubernur yang terus saja shooting film. Sudah season ke 6, tapi belum ketemu juga ia sama Tuhannya. Ia berkata akan berhenti membintangi bang Haji saat menjadi Wagub. Nyatanya, iklan sarung pun masih ia santap. Semena-mena dengan pengabdiannya sebagai pelayan rakyat, ia terus melahap job yang tidak seharusnya ia ambil. Keartisannya mengalahkan janjinya untuk mengabdi. Mungkinn pula keserakahannya menjadi dasar laten ia terus menjadi artis layar kaca. Apalagi bulan puasa ini, ia identik dengan sosok relijius ala TV. Ah, omong kosong kalau bicara sosok relijius jika sekadar aji mumpung di bulan puasa. Mungkin ia relijius di dunia nyata. Namun saat berbaur citra aji mumpung di TV, agak abu-abu jika ingin menyebutnya.
Ramai-ramai Hijab Dikalang, Biar Job Tidak Hilang
Kembali menyoroti TV dengan beragam peran di dalamnya. Orang-orang ini hanyalah berperan. Saat puasa tiba, para selebriti wanita pun ramai-ramai memakai hijab. Dari mulai yang hijab serupa kerudung yang sekadar menutupi rambut. Sampai hijab yang menutupi kepala. Semua dikenanakan tentu dengan satu elemen dasar. Semua harus menjadi sorotan atau highlight. Warna yang mencolok mata sampai model yang wah rupanya, hijab tak lain adalah wardrobe dalam perannya selama puasa.
Ada artis yang dulu sempat terlibat video mesum, kini membintangi acara ‘relijius’. Ia pura-pura nyantri. Betapa sarkastik seorang produser mencomot si selebritis ini sebagai pemeran utama. Dimana akal sehat nuraninya. Oh saya lupa, di televise tidak ada nurani. Yang ada adalah jiwa permisif absolute ala televisi. Dimana residivis atau mantan pengguna narkoba saja bisa menjadi host suatu acara, apalagi untuk menjadi pemeran utama. Kontroversi adalah peengundang rating. Saat berjuta mata menonton dan mengkritisi, uang dan sponsor pun semakin berdatangan. Dan berjuta pasang mata ini pun, tiada sadar telah dikelabui.
Ada pula selebritis wanita yang menjadi juri ajang ceramah da’i cilik. Si juri adalah mantan istri dari seorang da’i besar sekaligus legenda hidup musik dangdut. Lalu nyaris tiba-tiba, ia menjadi juri bagi anak kecil yang pandai ceramah. Ah, mungkin menurut tim kreatif acara tersebut hal ini tidak masalah bagi anak-anak kecil tadi. Tapi bagaimana dengan para pemirsa? Jika ada yang kritis, sungguh memalukan hal ini dipandang. Tidak adakah orang lain yang lebih layak? Sedang kehidupan glamornya saja mencerminkah hedonisme akut, tanpa ada kesan agama terlibat. Adapun, agama yang ia buat adalah katarsis pemberi citra manis kalau ia (mungkin) dermawan. Lagi-lagi, banyak orang pun oke-oke saja dengan hal ini.
Â
Salam,
Solo, 19 Juni 2015