[caption caption="Bertetangga - ilustrasi: emmaqueen.co.id"][/caption]Kehidupan bertetangga memang penuh warna-warni. Kadang menjengkelkan. Sering waktu juga menyenangkan. Ada saja tetangga yang menyebalkan. Tapi juga banyak tetangga yang baik adanya. Tetangga menjadi sebuah kebutuhan integral hidup sosial. Dan mungkin juga menjadi unsur utama penunjang manusia sebagai mahluk sosial. Tetangga menjadi sebuah variabel yang baik dalam kitab agama dan nilai-nilai masyarakat menjadi hal yang selalu disinggung. Tetangga adalah saudara atau kerabat terdekat hidup kita. Tetanggalah yang pertama tahu dan faham sekali kesusahan dan kebahagiaan keluarga kita tunjukkan.
Saya pun merasakan warna-warni bertetangga. Baik di konteks kecil hidup di kos-kosan, sampai hidup berkeluarga. Kamar-kamar disamping kamar kos saya pun harus saya tahu. Juga saya akrabi siapa penghuni disamping kos saya. Karena saya tahu, merekalah yang akan dengan cepat membantu saya saat mengalami kesulitan. Sekarang, saat berkeluarga pun demikian. Tetangga samping kiri-kanan dan depan pun sering saya sambangi. Atau sekadar menyapa dan ngobrol di depan jalan saat sore hari, menjadi elemen penting kebutuhan saling menjaga antar tetangga.
Namun ada saja memang tetangga yang tidak membutuhkan tetangga. Bukan sebuah hal yang mengherankan mungkin di konteks perkotaan. Dimana setiap keluarga sudah sibuk dan lelah dengan diri dan kegiatannya masing-masing, sekedar bertegur sapa antar tetangga pun sulit. Atau memang ada yang sengaja mengasingkan diri dari lingkungannya. Tetangga macam ini tahu lingkungannya harmonis bertetangganya. Walau setiap hari bertemu, tetangga semacam ini pilih diam atau mengacuhkan tetangganya.
Saya pun sering mengalaminya. Sebagai seorang sekretaris RT, saya sudah tidak heran dengan tetangga yang cuek. Misalkan adlam iuran rutin untuk sampah. Mereka yang tidak mau iuran memang tidak pernah hadir pertemuan rutin warga. Jika sampah mereka tidak diambil tukang sampah, mereka pun komplain kepada pak RT. Akhirnya, warga yang membayar biaya rutin sampah harus membayari atau nomboki mereka yang tidak bayar.
Saya bayangkan, kalau mereka sakit atau anggota keluarganya meninggal dunia. Saat inilah tetangga menjadi andalan. Atas dasar kemanusiaan, kami pasti ingin menolong. Namun tentunya ada jurang yang membatasi kami. Bayangkan saja jika tidak pernah srawung tonggo (bertetangga, Jawa) tiba-tiba meminta tolong. Nurani mungkin ingin menolong. Tapi rasa sungkan pasti muncul.
Seringkali pula, tetangga yang tidak pernah ikut pertemuan rutin mengundang semua warga untuk acaranya. Bukannya saya atau tetangga lain tidak ingin menghadiri. Tapi ada rasa aneh saja, jika saat lingkungan membutuhkan kepedulian, mereka pilih acuh. Namun saat kepentingan mereka mendesak, mereka ingin warga memenuhi kepentingan mereka. Tidak adanya saling memenuhi dan kepahaman tetangga cuek, tentunya menjadi pengahalang tersendiri.
Okelah pagar tetanga kita tinggi menjulang. Ada baiknya kepribadian dan kepedulian sosial mereka tidak sekokoh dan seangkuh pagar mereka. Bertetanggalah. Tetangga saya fikir bukan menjadi beban. Apalagi kehidupan bertetangga tentunya bukan suatu hambatan. Malah, bertetangga banyak memberi kita sebagai manusia sisi sosialnya. Sebuah insting untuk berkumpul dan menjalin persaudaraan adalah sifat dasar. Sayangnya, angkuhnya kehidupan modern dan lelahnya hidup bermasyarakat bagi sebagain orang, membuat bertetangga menjadi hambatan.
Salam,
Solo, 06 Oktober 2015
3:55 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H