Bulan puasa segera tiba, Lebaran pun akan menjelang. Dan yang ada di tiap kepala pekerja adalah THR. Tak bisa dipungkiri, inilah yang juga saya fikirkan. Kira-kira 'Tunjangan Hari Raya' nanti berapa? Buat apa saja post anggarannya? Nanti mau beli apa saja? Kira-kira ada sisa THR yang tersisa atau tidak? Dan pertanyaan tetek bengek lainnya. Sehingga, mau tak mau Ramadhan berkonotasi 'pendapatan lebih = pengeluaran lebih'.
Saya tidak akan banyak membahas tips berhemat untuk Ramdhan atau menabung THR. Sila saja di Google artikel tentang ini sudah cukup banyak. Namun, saya coba mengurai dan menelisik kira-kira kenapa ada semiotika Ramadhan dan 'maha-konsumsinya'? Sedang esensi Ramadhan sendiri adalah berempati dan berhemat. Setidaknya demikian kata ahli agama.
Ramadhan seolah menjadi euforia konsumtif kelas menangah. Alih-alih berhemat, pengeluaran yang 'tidak perlu' justru menjadi tren. Yang sebenarnya tidak perlu baju baru, akhirnya membeli. Yang tidak perlu furniture baru, akhirnya menyicil. Yang tidak perlu perhiasan tambahan, akhirnya menambah hutang kartu kredit. Beragam alasan ini seolah divalidasi dengan 'superego' konsumtif secara umum.
Kalau tidak pakai baju atau perhiasan baru, nanti tidak 'terasa' Lebarannya. Jika buka puasa tidak enak dan 'sedikit' mewah kok sepertinya sama saja dengan bulan biasa. Kalau rumah tidak ada perabot dan tampilan baru, kok seperti tidak 'menyambut' bulan suci. Inilah tekanan sosial dan psikologi massa yang tercipta sejak dahulu. Entah siapa yang menciptakan mindset ini. Namun efek jangka panjangnya seperti diamplifikasi sekian kali lipat.
Ditambah 'pressure' dari media yang juga signifikan. Iklan di televisi yang khas dan cenderung memaksa membeli di bulan puasa, bebas bersliweran. Semua produk 'dipaksa berjilbab' agar bisa dibeli oleh umat mayoritas. Semua acara televisi beserta penghiburnya pun demikian. Walau inti dari acara tadi adalah menjual produk. Namun tidak banyak dari kita yang berteriak kalau hal ini adalah polusi fikiran.
Pergeseran petanda dari Ramadhan pun terasa. Terutama bagi kaum pekerja yang berharap uang lebih di akhir puasa. THR adalah dahaga bagi dompet yang kering duit cash. Setidaknya, selama beberapa hari ada uang untuk belanja dan jalan-jalan. Setidaknya juga, selama setahun sekali bisa membeli barang bagus. Dan setidaknya juga, semua ini demi menyambut datangnya Lebaran.
Sehingga, THR tak ayal menjadi tanda yang absurd dalam kelindan konsumsi di bulan Ramadhan. Sejatinya THR bukanlah bonus. Namun THR menjadi gaji seperti bulan biasa. Hal ini karena keperluan dan kebutuhan selama puasa membengkak. Barang-barang dengan liar dan tak terkontrol semaunya dinaikkan harganya. Pemerintah hanya berpesan jika ada kartel. Pasar murah hanya hujan di kala kemarau panjang.Â
Dengan fakta demikian, maka bulan puasa = 2 kali konsumsi bulan biasa. Maka ekuivalensi THR adalah 0 alias nihil. Dengan kata lain BEP (Break Event Point). Jadi tujuan 'tunjangan' sendiri sesuai maknanya. THR menunjang keperluan kita yang berlipat. Walau kadang pengeluaran kita 'patah' tidak bisa ditunjang. Bukan bonus atau gaji lebih seperti yang selama ini kita fahami.
Nah, mungkin selama membaca artikel ini ada denial (pengingkaran) fakta ini tak terjadi. Setidaknya dengan diri pribadi Anda. Namun yang terjadi secara umum memang demikian. Dan yang signifikan, adalah mindset 'maha-konsumsi' ini halus merasuk dalam fikir kita. Mau tak mau, dengan beragam alasan kita dipacu untuk bisa bertahan selama bulan Ramadhan.
Dan memang, semua kembali pada diri dan keluarga sendiri dalam mengatur pengeluaran. Namun sangat disayangkan memang, mindset ini begitu luas diterima. Publik, media dan pemerintah menjadi kompor dari pertarungan makna Ramadhan. Saat realitas memaksa kita untuk over-consumption, tapi idealisme berhemat kita fahami juga. Dua makna yang ironis, namun berjalan paralel.
Salam,