Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda Dukung Capres, Bisa Pecah Anggota Keluarga

8 Juni 2014   16:19 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:43 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="454" caption="(ilustrasi: bonnegueule.fr)"][/caption] Jika Pileg 9 April banyak anggota keluarga yang cuek menyoal pilihannya. Kadang memilih salah satu calon anggota DPD/DPRD/DPR menurut 'pesanan'. Atau karena pasrah, coblos saja gambar partainya. Pilpres ini jauh berbeda. Selain yang dipilih hanya dua pasang. Dan anggota keluarga pun terpecah dalam pilihannya. Ditambah media yang netralitasnya dipertanyakan. Menambah ruwet dan riuh 'debat' kecil dalam kelurga menyoal siapa Capres terbaik. Semua punya referensi, mulai dari SMS kaleng (rombeng), katanya si anu dan si anu, sampai referensi berita media yang pincang. Debat kecil anggota keluarga kadang mulai memanas. Seperti beda pilihan antara saya dan bapak-ibu saya. Mereka sendiri menjagokan Prabowo. Mulai dari ketegasan sampai isu calon Menag yang berasal dari kaum Syiah. Jika Jokowi menjadi presiden nanti. Dikhawatirkan kaum Syiah akan 'menyesatkan' dan menimbulkan perpecahan. Atau pun menyoal trah Tiongkok Jokowi yang menjadi soal. Cukup panjang lebar penjelasan mereka yang saling bahu membahu menguatkan argumen. Sedang saya diam menyimak. Saya sendiri memang condong ke Jokowi. Bukan berarti saya fanatik. Tapi saya sudah merasakan sendiri karya dan prestasi Jokowi selama ia memimpin. Dan saya coba 'bantah' pandangan bapak-ibu saya yang kurang berdasar. Lihat saja di Solo, tiap agama bahu membahu membangun Solo. Hampir tidak ada kekerasan berbau SARA disini. Semua berbaur, mulai warga Kristen, Muhammadiyah, NU, MTA, Salafi, LDII, atau minoritas seperti Konghu Chu, Hindu, Buddha, hidup rukun. Dan calon Menag dari Syiah itu sepertinya hanya kabar. Belum pasti juga kalau Jokowi hendak menunjuk orang Syiah menjadi Menag. Lagi pula kalau Syiah memang kenapa. Malah yang memimpin non-Syiah atau Sunni, banyak perpecahan umat Islam terjadi. Saya tidak ingin mengubah pilihan mereka soal Capres nanti. Hanya melihat ternyata Pilpres 2014 sepertinya menyebar virus berbahaya untuk keluarga. Tidak hanya di keluarga saya, virus ini menjangkiti keluarga rekan saya. Pernah ia bercerita jikalau kakak ipar plus mertua mereka berpindah dukungan ke Prabowo. Alasannya cukup sederhana. Ada kabar jikalau tunjangan sertifikasi Guru akan dihapus. Keluarga rekan saya yang banyak berasal dari guru pun terpengaruh. Kakak iparnya berpindah haluan. Dan 'debat' sempat terjadi antar anggota keluarga menyoal pilihan Capres ini. Kuatnya cengkraman media dan oknum-oknum yang menghembuskan rumor, terlihat sekali di Pilpres 2014. Pincangnya netralitas beberapa televisi berita, juga menyebarkan dengan cepat virus perpecahan ini. Belum lagi beragam rumor dari si anu atau SMS kaleng (rombeng) yang mempercepat virus ini menginang dalam fikir. Media sosial pun berperan penting. Medsos seperti Twitter pun sudah dijadikan referensi dalam pemberitaan. Banyaknya akun dan robot yang men-tweet isu tertentu. Menjadikan trending Twitter beberapa kali seputar Capres dalam Pilpres 2014 Virus ini saya kira akan reda dengan sendirinya setelah coblosan 9 Juli nanti. Setelah quick count yang menyebutkan salah satu Capres memiliki suara terbanyak, virus perpecahan ini akan mereda. Lalu setelah dilantik presiden baru, baik Prabowo atau Jokowi, virus perpecahan keluarga akan sangat reda. Anggota keluarga yang berseberangan pandangan akan nrimo. Yang ada setelahnya adalah virus mengeluh. Setelah 1-2 tahun kepemimpinan Presiden terpilih nanti, virus mengeluh dan mengkritisi yang akan ada. Tidak lagi berdebat, jika adapun paling hanya menyindir. 'Dia, kan Presiden pilihanmu to?' Salam, Solo 08 Juni 2014 09:13 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun