Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Massa Bayaran Kampanye Termasuk ke Dalam Money Politics?

3 April 2014   04:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: efabula.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="(ilustrasi: efabula.com)"][/caption] Sebuah problem pemahaman istilah yang kini menjadi rancu. Apakah secara esensi membayar massa bayaran kampanye termasuk money politic (politik uang) atau ongkos politik. Walau secara fisik kedua hal tadi, politik uang dan ongkos politik sama-sama mengeluarkan uang. Namun dalam konteks kian panasnya kampanye, massa peramai kampanye atau seringdisebut simpatisan, pemberian uang untuk mereka adalah ongkos politik. Bukan politik uang. Apalagi Jendral Polri, Sutarman menegaskan hal tersebut baru-baru ini. Menurut Sutarman, massa bayaran ini hanya mendapat kompensasi pengganti biaya transportasi untuk datang ke lokasi kampanye. "Kalau ditanya kampanye, simpatisan kan dia sudah berkelompok. Dikasih transportasi, itu bukan money politics. Itu ongkos transportasi," ujar Sutarman saat ditemui di kantor kepresidenan, Rabu (2/4/2014). Menurut Sutarman, massa yang hadir dalam sebuah kampanye merupakan simpatisan murni dari partai tersebut. Oleh karena itu, pada saat mereka berkumpul dalam suatu acara kampanye dan mendapat uang transportasi, hal itu tidak masuk politik uang. "Itu ongkos politik," ujar Sutarman lagi. (berita: tribunnews.com) Kerancuan Yang Dipertegas Istilah politik uang untuk membayar simpatisan partai kini menjadi kerancuan yang semakin dipertegas. Bagaimana secara esensi ongkos politik di rancukan dengan politik uang oleh seorang Jendral. Walau secara nalar sederhana, ongkos politik yang dikatakan pak Jendral masih terdengar tidak asing. Namun secara pemahaman mungkin ada garis yang sangat tipis dari istilah politik uang dengan ongkos politik. Money politic (politik uang) merupakan aktivitas yang secara tegas dan jelas mendorong, mengajak atau mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan berupa iming-iming dan pemberian uang atau hal yang bersifat material. Sedangkan ongkos politik adalah biaya yang mesti dikeluarkan oleh pelaku politik atau kandidat untuk mensukseskan aktvitas politik tanpa bermaksud mendorong atau mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan uang atau hal yang bersiat material. (referensi: kadermudabanten.blogsot.com) Sehingga, segala pengeluaran uang dalam berkampanye juga bisa disebut ongkos politik. Dan termasuk dalam hal ini adalah massa bayaran yang dihadirkan dalam kampanye. Sehingga, entitas manusia yang melekat pada simpatisan (yang sengaja dibayar) akan hilang. Mereka sejajar dengan komponen kampanye lain. Seperti baliho, famlet, panggung, sound system dan lain-lain. Yang pada intinya, semua hal yang mendukung suatu perhelatan kampanye. Namun di sisi lain, hakikat manusia yang melekat pada massa bayaran tidak bisa dilesapkan semena-mena. Memberikan uang untuk ramai-ramai mendukung kampanye suatu parpol pun juga disebut politik uang. Dengan memberi uang, tentunya turut serta di dalamnya interest (niat atau kepentingan) memberi. Singkatnya, ada pamrih yang harus ditebus nanti. Sejumlah uang yang diberikan, ditujukan untuk dapat menggugah keinginan massa bayaran untuk memilih Caleg dari parpol yang memberikan uang tersebut. Kerancuan Memposisikan Perspektif Jendral Sutarman sekiranya berpandangan berpandangan bahwa massa bayaran bisa juga betul. Karena ia melihat entitas massa bayaran dalam kampanye adalah komponen (komoditas). Bukan sebagai entitas manusia yang bisa berfikir dan dapat dimanipulasi fikirannya. Mungkin pula sang Jendral beranggapan bahwa massa bayaran ini serupa penonton bayaran di konser-konser musik di televisi. Mereka adalah boneka-boneka tanpa otak dan perasaan yang akan turut bergoyang dengan floor director saja. Namun, pada sisi yang beranggapan bahwa membayar massa kampanye adalah politik uang juga betul adanya. Terutama dalam hal ini KPU sebagai 'organizer' Pemilu di negri ini. Karena mungkin dalam perspekif mereka, massa bayaran adalah manusia seutuhnya. Manusia yang memiliki perasaan dan hati. Perasaan yang bisa dirajuk dan dirayu untuk memilih salah sau Caleg misalnya. Dan hati yang bisa digugah karena desakan ekonomi untuk berkonvoi dan mendapat sejumlah uang. "Yang pasti apa pun bentuknya dalam pemberian itu adalah money politic. Terkait transportasi juga harus dimaknai sebagai upaya mobilisasi dan bisa jadi ada unsur money politic," ujar Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Jakarta, Sabtu (22/3/2014). (berita: tribunnews.com) Seperti saya ungkap diatas, pemahaman Komisioner KPU tersebut terkait dengan niat atau interest dalam pemberian uang untuk massa bayaran. Dimana, Ferry mengungkap bahwa pemberian uang transportasi sebagai upaya mobilisasi diduga ada 'unsur' money politic. Unsur yang sangat kental untuk mengarahkan, atau meminta pamrih atas pemberian uang transpor untuk massa bayaran ini. Dan secara nalar sederhana pun, mereka yang disebut massa kampanye atau simpatisan sejatinya datang dengan hati yang tergugah. Datang dan mendukung dengan rasa simpati. Seperti dalam istilah simpatisan itu sendiri. Mereka tergerak mendukung dan berkonvoi karena datang dari hati dan rasa simpatik. Bukan karena dibayar atau ada iming-iming sejumlah uang. Walau secara umum dipahami 'terima uangnya, jangan coblos fotonya' berlaku pula. Namun dalam hal kultur kampanye di Indonesia, hal ini semakin menyuburkan praktik politik uang. Yang memberi menjadi berharap ada pamrih. Kalau bisa, semakin banyak memberi dan yang diberi, semakin besar pula nanti yang didapat. Sehingga biaya kampanye membengkak. Dan akhirnya, biaya politik pun semakin mahal. Mahar ekonomi yang dibuang saat kampanye pun akhirnya harus dikembalikan saat mereka menjabat. Hulu sumber biaya kampanye yang kian tidak jelas, menyebabkan saat menjadi pejabat, hilir uang negara semakin tidak jelas pula. Dan massa bayaran yang turut menikmati pun antara senang dan juga bingung. Senang karena dapat uang percuma. Bingung pula karena belum tentu niat yang diharapkan Caleg tidak bersambut. Artikel terkait dari saya:

  1. Pikir Sesat Kampanye Massa Parpol
  2. Hari Ini Kita Dimanjakan Caleg, Esok Hari? Entahlah
  3. Ini yang Membuat Uang Sogokan Caleg Masih Tetap Ampuh

Salam, Solo, 02 April 2014 09:34 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun