Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

86 Tahun Sumpah (Serapah) Pemuda, Sebuah Anomali

28 Oktober 2014   04:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_369905" align="aligncenter" width="460" caption="(ilustrasi: erepublik.com)"][/caption] Mondar-mandir di kantin kampus, berjejer mahasiswa nongkrong. Ada yang sibuk makan. Ada pula yang sibuk mengobrol. Sembari membayar air mineral yang saya beli, selentingan ada serapah mahasiswa yang sedang mengobrol. Kata-kata kasar yang seolah tanpa filter terlontar dari bibir akademisi muda. Beberapa tertawa menyambut umpatan dan makian. Seolah, kantin ini adalah sarang preman di sekitar terminal. Obrolan yang saya dengar tak ubahnya perumpaan kumpulan preman yang sibuk ngobrol ngalor-ngidul. Bahasa kasar yang sepertinya sudah menjadi cap negatif generasi muda. Sumpah serapah dan pemuda, adalah tautan arbitrer kehidupan sosial. Halus maupun nyata, sumpah serapah menjadi gaya hidup sebagian pemuda. Sumpah serapah adalah sebuah show of force dari jiwa muda. Jiwa yang selalu memberontak dan anti kepatuhan. Mengumpat atau mencerca adalah sebuah tanda pemuda menjadi 'dewasa'. Dewasa dengan parameter mereka sendiri. Yaitu individu yang tidak ragu berbuat nekat dan semaunya sendiri. Itu yang secara jumud difahami mereka bersama. Berani tawuran dan nekat ngebut di jalan. Menandakan pelakunya adalah hebat dan sudah 'dewasa'. Parameter yang digunakan adalah sejauh mana nekat dan berani seorang pemuda mendobrak segala kewajaran. Dengan bersumpah serapahlah, mereka pula masuk ke dalam suatu geng atau kelompok. Berani mencerca, berarti berani nyalinya. Apalagi kalau sudah dalam kelompok. Jika kejahatan adalah mindset kelompok ini. Menggerakkan mereka menjadi anarkis kadang bisa sangat sepele. Bagai sekam kering yang disulut puntung rokok. Ia dapat membakar hangus semuanya. Pemuda, dengan raga yang serba bisa, mampu berbuat segalanya. Bahkan diluar kewarasan. Menganiaya bahkan sampai mencabut nyawa, bukanlah hal yang sulit dilakukan. Semua, dimulai dengan turut berpadunya sumpah serapah pemuda. [caption id="" align="aligncenter" width="471" caption="(foto: proprofs.com)"]

(foto: proprofs.com)
(foto: proprofs.com)
[/caption] Sumpah Pemuda, Cita-Cita Kontemporer yang Penuh Kegalauan Jauh dilubuk hati seorang pemuda, saya yakin mereka juga ingin bermanfaat untuk negrinya. Sebuah hal yang pada tanggal 28 Oktober 1928 lalu sudah tercermin. Dan seolah, history should repeat itself. Sejarah pasti akan berulang. Kegalauan pemuda waktu itu, jengah akan nasib bangsanya. Kalut akan masa depan bangsa yang dipandang akan semakin suram saat penjajah perlahan berkuasa penuh. Kegaluan bersama yang waktu itu dirasakan pemuda, terakumulasi menjadi jalan perjuangan. Sumpah Pemuda pun lahir sebagai fondasi satu nasib satu sepenanggungan. Semua bersumpah atas semua unsur dasar negri ini. Dan Sumpah Pemuda inipun, mengantarkan rasa memiliki negri sampai ke bapak Proklamator, Soekarno. Yang saat mengumandangkan Teks Kemerdekaan, juga masih dalam masa pemuda. Pemberontakan atas pemikiran kaum tua yang terlalu berbelit memerdekakan Indonesia, membuat Soekarno galau bukan kepalang. Dengan corat-coret Teks Kemerdekaan di atas kertas bungkus sate, ia nekat. Atas nama kemerdekaan dan jiwa Sumpah Pemuda, Soekarno melegitimasi Kemerdekaan negri ini. Kini, sudah 86 tahun lepas dari tahun 1928. Esok, tanggal 28 Oktober yang diperingati secara nasional sebagai Hari Sumpah Pemuda, hanya menampakkan anomali. Sebuah anomali yang kian menjadi dan meliar. Pemuda masa kini galau akan diri mereka yang bukan orang Indonesia. Mereka ingin bermanfaat untuk negri ini. Namun sistem dan kondisi negri ini kian karut. Semua mengaburkan jiwa Sumpah Pemuda 1928 dahulu. Atau semangat merdeka Soekarno 1945 lalu. Niat ingin bermanfaat negri ini luntur seiring semakin 'liberal-nya' negri ini. Pendidikan yang sejatinya harus meng-Indonesiakan orang Indonesia, nyatanya penuh intrik politik, uang dan kekuasaan. Berganti Mentri Pendidikan, adalah berganti kurikulum. Berganti pula proyek yang ada. Berganti pula anggaran yang kini membengkak. Pemuda yang kini beranjak menuju masa dewasanya, adalah mereka yang menjadi kelinci percobaan elit bangsa ini. Saat Orba menitikberatkan pada pengalaman Pancasila. Saat pemuda dulu mampu menghafal siapa mentrinya. Saat remaja dulu selalu ulang-mengulang dengan khusyuk saat upacara mengucap lima sila Pancasila. Kini semua bak mengalami masa distopia prinsip negri sendiri. Berapa banyak pemuda yang benar-benar paham negrinya? Berapa banyak dari mereka yang tahu prestasi para elit negarawannya? Mereka hanya disuguhi perspektif pesakitan KKN para elit dan pejabat negri ini. Kemanfaatan mereka untuk negri terimpotensi secara masal. Kelam dan suram atas nasib negri ini tersugesti dalam fikir mereka. Kekecewaan untuk tidak bisa bermanfaat untuk negri ini pun tertuang. Ya. Dengan sumpah serapah. Sumpah yang mencerminkan jiwa yang tidak santun. Karena pemuda kehilangan kebangsaan mereka plus nilai-nilai kebangsaan. Saat nilai agama hanya tertuang dalam nilai agama di rapor mereka. Nilai dan kearifan lokal bangsa sendirilah yang sejatinya menangkal sumpah serapah. Kekecewaan yang kian banyak dan terus-menerus, pada pemimpin negri ini, membuat jati diri mereka pun terkikis. Mudah dirasuki bahkan terganti dengan faham ala Barat yang kadang seenak udelnya diterapkan dalam hidup mereka. Seolah mereka sudah menjadi bagian dari dunia ini. Namun lupa, di negri mana mereka berpijak. Di Hari Sumpah Pemuda, baiknya semua sumpah serapah itu bermetamorfosis menjadi semangat terbarukan. Semangat yang menggebu dan membuncah jiwa muda, diberi panduang untuk menjadi lebih bermakna. Bersama, membangun negri Indonesia ini. Seiring pemerintahan baru ini. Banyak tentunya pemuda yang perduli dan mau ikut andil bermanfaat untuk negrinya. Karena kalau bukan pemuda Indonesia sendiri, siapa yang mau mengurus negri ini nantinya. Salam Sumpah Pemuda! Salam, Solo, 27 Oktober 2014 09:35 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun