Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Polarisasi Politik Jelang Pemilu di Media Sosial

2 Juni 2023   23:29 Diperbarui: 3 Juni 2023   23:46 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fight oleh Antony Trivet (pexels.com)

Di banyak negara sampai saat ini, Pemilu masih dijalankan. Pemilu telah lama menjadi salah satu pilar demokrasi yang harus dijaga integritasnya. Akan tetapi di era digital seperti sekarang ini, Pemilu menghadapi berbagai tantangan yang dapat mengancam kredibilitasnya. Salah satu tantangan tersebut adalah polarisasi politik di media sosial. 

Polarisasi di medsos menjadi fenomena cukup meresahkan. Publik yang melek digital terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Tak jarang mereka militan, intoleran terhadap pandangan yang berbeda. Atas nama afiliasi ideologi, politik bahkan pilihan Capres, hal negatif di medsos sering dilakukan pihak yang terpolarisasi ini.

Tidak hanya di Indonesia, fenomena polarisasi juga terjadi di banyak negara. Di Amerika Serikat, ada liberal (Democrat) dan konservatif (Republican). Di Brasil, haluan kanan (Bolsonaro) dan haluan kiri (Lula da Silva). Bahkan di Pemilu Filipina tahun lalu indikasi polarisasi antara Ferdinand Marcos Jr. dan Leni Robredo cukup signifikan.

Fitur distribusi informasi cepat dan murah di medsos, menjadikan polarisasi kian dipupuk dan diamplifikasi. Berkat influencer dan buzzer polarisasi politik bisa dicirikan. Polarisasi politik di medsos ditandai oleh beberapa karakteristik berikut:

  • Munculnya gerakan sosial yang menggunakan tagar. Tanda tagar (#) sering digunakan sebagai simbol identitas dan solidaritas kelompok, seperti #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi.
  • Adanya opini publik yang saling bertentangan. Tak jarang antar dua kubu pun saling menyerang. Mereka akan mendukung Capresnya dan menolak pasangan Capres lain, dengan cara dan jenis konten apapun.
  • Terjaganya filter bubble atau gelembung informasi. Dalam filter bubble ini masing-masing kelompok hanya menerima dan mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Tak segan mereka mengabaikan atau menolak informasi yang berbeda atau bertentangan.
  • Makin kuatnya echo chamber atau ruang gema. Dampak dari filter bubble medsos di atas, masing-masing kelompok hanya berinteraksi dan berdiskusi dengan orang-orang yang sependapat. Mereka cenderung menghindari atau mengucilkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

Pemicu polarisasi politik di medsos dapat dipicu oleh berbagai faktor. Konten hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam, dan rumor dunia nyata menjadi penguat filter bubble. Dampaknya pun cukup serius kepada demokrasi dalam Pemilu. Berikut adalah beberapa dampak negatif dari polarisasi politik di medsos terhadap Pemilu.

Pertama, menurunkan kualitas debat publik. Polarisasi politik yang terlalu ekstrim di medsos dapat membuat masyarakat kurang terbuka untuk mendengarkan dan memahami argumen dari pihak lain. Fenomena filter bubble yang memperkuat echo chamber menjadi kian nyata dan kuat di medsos.

Hal tersebit pun dapat mengurangi ruang dialog yang sehat dan konstruktif. Mereka yang berbeda pilihan ideologi politik, Capres dan partai politik akan terus intoleran. Akibatnya, debat publik menjadi lebih emosional. Di dunia nyata bisa menyulut permusuhan. Tak jarang dipicu konten dan komentar yang tidak rasional.

Kedua, meningkatkan potensi konflik sosial. Polarisasi politik di medsos dapat memicu sentimen negatif dan permusuhan antara kelompok-kelompok yang bertentangan. Timbullah ketegangan, kekerasan, intimidasi, sampai persekusi di masyarakat. Di masa kampanye Pemilu, fenomena ini akan lebih sering terjadi.

Dampaknya di dalam jangka panjang polarisasi politik macam ini jelas mengancam persatuan. Perbedaan yang dihargai dengan kebhinekaan dalam Pancasila bisa dinodai. Bagi beberapa pihak, polarisasi politik bisa dimanfaatkan untuk menebar teror dan merusak stabilitas politik dan demokrasi suatu negara.

Ketiga, mengganggu proses pemungutan dan penghitungan suara. Polarisasi politik di medsos dapat mempengaruhi perilaku pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Banyak pemilih cenderung menjadi apatis, skeptis, atau tidak percaya terhadap sistem Pemilu. Beberapa mungkin menyerang penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun