Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoaks Politik di Pemilu: Dampak Jangka Pendek dan Panjang

24 Mei 2023   10:22 Diperbarui: 24 Mei 2023   10:31 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang hoaks memang cukup menjemukan bagi beberapa orang. Selain karena begitu banyak hoaks beredar di linimasa dan grup chat, hoaks juga beragam variannya. Dari mulai hoaks kesehatan, finansial, sampai politik ada. Seperti pohon yang berbuah, hoaks pun ramai sesuai musimnya. 

Tahun depan, Pemilu 2024 akan dihelat. Buah hoaks politik pun mulai ranum. Bukan untuk dipetik tapi untuk meracuni demokrasi dan stabilitas negara. Hoaks bertema politik jelas sangat berbahaya saat Pemilu. Hal ini daya rusaknya pada demokrasi dan menimbulkan konflik di masyarakat. 

Selain hoaks politik dibuat dan disebar untuk mempengaruhi pilihan para pemilih. Hoaks macam ini juga menjelekkan calon tertentu, dan meragukan kinerja penyelenggara pemilu, seperti KPU atau Bawaslu. Di akar rumput, linimasa yang penuh hoaks politik akan memecah belah persatuan, mengadu domba, dan mempolarisasi publik.

Mengutip Laporan Pemetaan Hoaks Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Januari 2023, ada 257 hoaks secara umum telah dicek fakta. Hasil cek fakta hoaks di awal tahun ini tepat sebulan setelah penetapan parpol peserta Pemilu 2024. Jumlah ini lebih tinggi 82% dibandingkan rerata temuan hoaks sepanjang 2022 yang mencapai 141 hoaks per bulan.

Dari jumlah di atas, hoaks bertema politik menempati urutan tertinggi, yakni 31,1% (80 hoaks). Umumnya narasi hoaks terkait dengan pro dan kontra pada tokoh Capres dan Cawapres potensial. Beberapa nama yang muncul seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Megawati Soekarnoputri, Gibran Rakabuming Raka, dan Kaesang Pangarep.

Hoaks terkait tokoh ini biasanya berisikan informasi fitnah, provokasi, atau pencemaran nama baik. Tujuan umumnya untuk merendahkan popularitas atau elektabilitas calon. Bahkan Bawaslu mengevaluasi Pemilu 2019 lalu, hoaks mulai masif sejak lima hingga enam bulan menjelang hari pencoblosan.

Melihat prevalensi hoaks politik makin sering, hoaks pun mulai dibisniskan. Didapati informasi tentang adanya konsultan yang menawarkan paket hoaks kepada peserta pemilu. Menurut KPU, konsultan ini menjanjikan bisa memproduksi hoaks yang sesuai dengan keinginan klien sekaligus menyebarkannya melalui medsos.

Sehingga bila ditilik sejak 2019, hoaks politik memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, dalam jangka pendek, hoaks politik menimbulkan kebingungan, ketakutan, dan kemarahan di kalangan masyarakat. Dengan mengeruhkan isu terkini dan tokoh politik, hoaks macam ini akan membuat gaduh linimasa. 

Selain itu, jangka pendek hoaks politik juga memecah belah opini. Tak jarang malah bisa menimbulkan konflik sosial antara kelompok bersebarang, hingga duel fisik. Dengan merusak citra dan reputasi Capres, hoaks politik dalam waktu cepat akan juga mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu.

Sedang dampak dalam jangka panjang, hoaks politik mengancam kualitas demokrasi di Indonesia. Kejengahan pada hoaks politik dapat mengurangi partisipasi politik masyarakat. Banyak orang akan merasa apatis atau tidak peduli dengan proses Pemilu. Bisa jadi, angka golput malah semakin tinggi saat Pilpres langsung karena hoaks juga.  

Di jangka panjang hoaks politik akan mengurangi literasi politik masyarakat. Publik akan merasa tidak mampu membedakan antara fakta dan opini. Akan muncul juga kerancuan membedakan informasi yang valid dan tidak valid. Keresahan publik akan makin tinggi jelang Pemilu jika literasi politik dan digital tidak diperkuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun